Wednesday 18 May 2016

Prinsip Nursing Sensitive

Prinsip Nursing Sensitive
By: Vivi Leona Amelia, S.Kep., Ns
 
Indikator nursing-sensitive merupakan konsep yang dipilih untuk melakukan analisis pelayanan keperawatan. Memerlukan beberapa waktu ketika "apa yang perawat lakukan" harus dikuantitaskan dan dihitung untuk menilai biaya, dan meningkatkan tindakan keperawatan dan tujuan pasien (Heslop dan Sai, 2014). Penggunaan indikator nursing-sensitive dikembangkan dengan dialog yang berkelanjutan antara bagian eksekutif dari keperawatan, yang melakukan pengaturan tindakan pelayanan keperawatan dan yang menginisiasi strategi pada fasilitas kesehatan tersier, dan pendidikan keperawatan yang memiliki ketertarikan pada pengukuran performa yang kompleks dan karakteristik pengambilan keputusan pada organisasi pelayanan kesehatan (Beck et al, 2013). Indikator nursing-sensitive berkembang dengan valid dan reliabel untuk mendukung kualitas pelayanan keperawatan dan penilaian performa pada setting rumah sakit, termasuk evaluasi peningkatan tindakan klinis keperawatan (Doran et al, 2011).

Dikatakan oleh Burston, et al (2013) bahwa penggunaan indikator nursing-sensitive memiliki beberapa permasalahan, disana terdapat tidak konsistennya dan tidak regulernya definisi dari konsepnya. Terdapat beberapa padanan kata sebagai alternatif yang memiliki arti yang sama dengan indikator nursing-sensitive yaitu indikator hasil/pengukuran, indikator kualitas performa perawat, indikator dari kualitas, indikator keselamatan pasien dan tujuan sensitif potensial kepada keperawatan (Heslop dan Sai, 2014). Heslop dan Sai (2014), membuat matriks kategori, subkategori yang digunakan dalam indikator nursing-sensitive:
1. Kategori: Struktural
a.       berhubungan dengan pasien : karakteristik pasien
b.      berhubungan dengan perawat: latar belakang pendidikan perawat; pengalaman klinis
c.       berhubungan dengan setting pelayanan: jam pelayanan keperawatan sehari; staffing perawat; keluar masuk pasien; intensitas beban kerja; presentase waktu pelayanan; faktor organisasional dari lingkungan praktek keperawatan; mendukung praktek pendidikan keperawatan; kemampuan manajer keperawatan, kepemimpinan dan dukungan; hubungan dengan tenaga kesehatan yang lain. 
2. Kategori: proses
a.       berhubungan dengan keperawatan : intervensi keperawatan
b.      berhubungan dengan setting pelayanan: dokumentasi keperawatan/nursing care plan
3. Kategori: hasil
a.       berhubungan dengan pasien: Pressure ulcer; jatuh dan jatuh dengan injuri; infeksi nosokomial; infeksi saluran kemih nosokomial; kesalahan pengobatan; pneumonia; komplikas sistem vena; kegagalan untuk menyelamatkan, restrain; sepsis; shok perdarahan gastrointetinal
b.      berhubungan dengan persepsi pasien: kepuasan pasien/keluarga terhadap pelayanan keperawatan; kepuasan pasien/keluarga terhadap manajemen nyeri
c.       berhubungan dengan pasien dalam penggunaan pelayanan kesehatan: LOS; waktu tunggu pelayanan keperawatan; kunjungan ke rumah sakit yang tidak direncanakan
d.      berhubungan dengan pasien dalam manajemen klinis: pengurangan gejala
e.       berhubungan dengan keperawatan: kepuasan perawat dengan pekerjaan; keselamatan perawat dalam pekerjaan
f.       berhubungan dengan setting tempat pelayanan: angka kematian; keluar masuk perawat


Daftar Pustaka
Beck S., Weiss M., Ryan-Wenger N., Donaldson N., Aydin C., Towsley G. & Gardner W. 2013. Measuring nurses’ impact on health care quality: progress, challenges, and future directions. Medical Care 51(4 Suppl. 2), S15–S22.
Burston S., Chaboyer W. & Gillespie B. (2013) Nurse-sensitive indicators suitable to reflect nursing care quality: a review and discussion of issues. Journal of Clinical Nursing 23(13–14), 1785–1795. doi: 10.1111/jocn.12337.
Doran D., Mildon B. & Clarke S. 2011.Towards a national report card in nursing: a knowledge synthesis. Canadian Journal of Nursing Leadership 24(2), 38–57.
Helsop, Liza dan Sai Lu. 2014. Nursing-sensitive indicators: a concept analysis. Journal of Advanced Nursing 70(11), 2469–2482. doi: 10.1111/jan.12503


Friday 27 September 2013

ASUHAN KEPERAWATAN SECTIO CAESAREA ATAS INDIKASI PREEKLAMSI

ASUHAN KEPERAWATAN SECTIO CAESAREA
ATAS INDIKASI PREEKLAMSI

A.    Sectio Caesarea
1.      Pengertian
Sectio caesarea adalah suatu cara melahirkan janin dengan sayatan pada dinding uterus melalui dinding depan perut (Mochtar, 1992).
Sectio caesarea adalah suatu persalinan buatan dimana janin dilahirkan melalui suatu insisi pada dinding depan perut dan dinding rahim dengan syarat rahim dalam keadaan utuh serta berat janin di atas 500 gram (Sarwono, 1991).

2.      Indikasi
Indikasi sectio caesarea menurut Cuningham (2005):
a.       Riwayat sectio caesarea
Uterus yang memiliki jaringan parut dianggap sebagai kontraindikasi untuk melahirkan karena dikhawatirkan akan terjadi rupture uteri. Risiko ruptur uteri meningkat seiring dengan jumlah insisi sebelumnya, klien dengan jaringan perut melintang yang terbatas disegmen uterus bawah, kemungknan mengalami robekan jaringan parut simtomatik pada kehamilan berikutnya. Wanita yang mengalami ruptur uteri berisiko mengalami kekambuhan, sehingga tidak menutup kemungkinan untuk dilakukan persalinan pervaginam tetapi dengan beresiko ruptur uteri dengan akibat buruk bagi ibu dan janin.
b.      Distosia persalinan
Distosia berarti persalinan yang sulit dan ditandai oleh terlalu lambatnya kemajuan persalinan, persalinan abnormal sering terjadi terdapat disproporsi antara bagian presentasi janin dan jalan lahir, kelainan persalinan terdiri dari:
1)      Ekspulsi (kelainan gaya dorong)
Oleh karena gaya uterus yang kurang kuat, dilatasi servik (disfungsi uterus) dan kurangnya upaya utot volunter selama persalinan kala dua.
2)      Panggul sempit.
3)      Kelainan presentasi, posisi janin.
4)      Kelainan jaringan lemak saluran reproduksi yang menghalangi turunnya janin.
5)      Gawat janin.
Keadaan gawat janin bisa mempengaruhi keadaan janin, jika penentuan waktu sectio caesarea terlambat, kelainan neurologis seperti cerebral palsy dapat dihindari dengan waktu yang tepat untuk sectio caesarea.
6)      Letak sungsang.
Janin dengan presetasi bokong mengalami peningkatan resiko prolaps tali pusat dan terperangkapnya kepala apabila dilahirka pervaginam dibandingkan dengan janin presentasi kepala.

3.      Kontra Indikasi
Umumnya sectio caesarian tidak dilakukan pada janin mati, syok, anemi berat sebelum diatasi, kelainan kongenital berat (monster).

4.      Teknik Sectio Caesarea
a.       Insisi Abdomen.
1)      Insisi vertikal.
Insisi vertikal garis tengan intra umbilikus, insisi ini harus cukup pajang agar janin dapat lahir tanpa kesulitan. Oleh karena itu, panjang insisi harus sesuai dengan taksiran ukuran janin.
2)      Insisi transversal atau lintang.
Kulit dan jaringan subkutan disayat dengan menggunakan insisi transversal rendah sedikit melengkung. Insisi dibuat setinggi garis rambut pubis dan diperluar sedikit melebihi batas lateral otot rektus.
b.      Insisi Uterus
1)      Insisi caesarea klasik.
Insisi caesarea klasik adalah suatu insisi vertikal ke dalam korpus uterus diatas segmen bawa uterus dan mencapai fundus uterus. Sebagian besar insisi dibuat di segmen bawah uterus secara melintang, insisi melintang disegman bawah memiliki keunggulan yaitu hanya memerlukan sedikit pemisahan kandung kemih dari miometrium dibawahnya. Indikasi untuk dilakukan insisi klasik untuk melahirkan janin:
a)      Apabila segman bawah uterus tidak bisa dipajankan atau dimasuki dengan aman karena kandung kemih melekat dengan erat akibat pembedahan sebelumnya, atau apabila teardapat karsinoma invasif di servik. Janin berukuran besar, terletak melintang, selaput ketuban sudah pecah dan bahu terjepit jalan lahir.
b)      Plasenta previa dengan implantasi anterior.
c)      Janian kecil, presentasi bokong, segman bawah uterus tidak menipis.
d)     Obesitas berat.
2)      Insisi caesarea transversal.
Insisi tranversal melalui segman bawah uterus merupakan tindakan untuk presentasi kepala, diantaranya:
a)      Lebih mudah diperbaiki.
b)      Kemungkinan ruptur disertai keluarnya janin ke rongga abdomen pada kehamilan berikutnya.
c)      Tidak mengakibatkan perlekatan usus.
Insisi uterus harus dibuat cukup lebar agar kepala dan badan janin dapat lahir tanpa merobek atau harus memotong arteri dan vena uterina yang berjalan sepanjang batas lateral uterus.
5.      Komplikasi
Komplikasi sectio caesarea mencakup periode masa nifas yang normal dan komplikasi setiap prosedur pembedahan utama. Kompikasi sectio caesarea menurut Hecker, (2001):
a.       Perdarahan
Perdarahan primer kemungkinan terjadi akibat kegagalan mencapai hemostasis ditempat insisi rahim atau akibat atonia uteri, yang dapat terjadi setelah pemanjangan masa persalinan.
b.      Sepsis sesudah pembedahan
Frekuensi dan komplikasi ini jauh lebih besar bila sectio caesarea dilakukan selama persalinan atau bila terdapat infeksi dalam rahim. Antibiotik profilaksis selama 24 jam diberikan untuk mengurangi sepsis.
c.       Cedera pada sekeliling stuktur
Beberapa organ di dalam abdomen seperti usus besar, kandung kemih, pembuluh didalam ligamen yang lebar, dan ureter, terutama cenderung terjadi cedera. Hematuria yang singkat dapat terjadi akibatterlalu antusias dalam menggunakan retraktor didaerah dinding kandung kemih.
Komplikasi pada anak, seperti halnya dengan ibunya, nasib anak yang dilahirkan dengan sectio caesarea banyak tergantung dari keadaan yang menjadi alasan untuk melakukan sectio caesarea. Menurut statistik di negara-negara dengan pengawasan antenatal dan intra natal yang baik, kematian perinatal pasca sectio caesarea berkisar antara 4 dan 7 % (Sarwono, 1999).

6.      Pemeriksaan Diagnostik
Pemeriksaan diagnostik menurut Tucker (1998):
a.       Pemantauan janin terhadap kesehatan janin.
b.      Pemantauan EKG.
c.       Elektrolit.
d.      Hemoglobin/Hematokrit.
e.       Golongan dan pencocokan silang darah.
f.       Urinalisis.
g.      Amniosentesis terhadap maturitas paru janin sesuai indikasi.
h.      Pemeriksaan sinar x sesuai indikasi.
i.        Ultrasound.


7.      Tatalaksana
Penatalaksanaan medis dan perawatan setelah dilakukan sectio caesarea menurut Cuningham, (2005):
a.       Perdarahan dari vagina harus dipantau dengan cermat.
b.      Fundus uteri harus sering dipalpasi untuk memastikan bahwa uterus tetap berkontraksi dengan kuat.
c.       Analgesia meperidin 75-100 mg atau morfin 10-15 mg diberikan, pemberian narkotik biasanya disertai anti emetik, misalnya prometazin 25 mg.
d.      Periksa aliran darah uterus palingsedikit 30 ml/jam.
e.       Pemberian cairan intra vaskuler, 3 liter cairan biasanya memadai untuk 24 jam pertama setelah pembedahan.
f.       Ambulasi, satu hari setelah pembedahan klien dapat turun sebentar dari tempat tidur dengan bantuan orang lain.
g.      Perawatan luka, insisi diperiksa setiap hari, jahitan kulit (klip) diangkat pada hari keempat setelah pembedahan.
h.      Pemeriksaan laboratorium, hematokrit diukur pagi hari setelah pembedahan untuk memastikan perdarahan pasca operasi atau mengisyaratkan hipovolemia.
i.        Mencegah infeksi pasca operasi, ampisilin 29 dosis tunggal, sefalosporin, atau penisilin spekrum luas setelah janin lahir.


B.     PREEKLAMSI

1.      Pengertian
Preeklampsia adalah kumpulan gejala yang timbul pada ibu hamil, bersalin dan dalam masa nifas yang terdiri dari trias: hipertensi, proteinuri, dan edema. Umumnya terjadi pada trimester ke III (Prawirohardjo, 2006).
Kenaikan tekanan sistolik harus 30 mmHg atau lebih di atas tekanan yang biasanya, atau mencapai 140 mmHg atau lebih. Tekanan sistolik meningkat lebih 15 mmHg atau lebih atau mencapai 90 mmHg.
Preeklamsi dibagi dalam golongan ringan dan berat. Dinyatakan berat bila ditemukan satu atau lebih dari gejala di bawah ini:
a.       Tekanan sistolik 160 mmHg atau lebih, atau tekanan diastolik 110 mmHg atau lebih.
b.      Proteinuria 5 g atau lebih dalam 24 jam; 3 atau 4 + pada pemeriksaan kualitatif.
c.       Oliguria, urine 400 cc atau kurang dalam 24 jam.
d.      Keluhan serebral gangguan penglihatan atau nyeri epigastrium.
e.       Edema paru-paru atau sianosis

2.      Etiologi
Etiologi penyakit ini sampai saat ini belum diketahui dengan pasti. Banyak teori-teori dikemukakan oleh para ahli yang mencoba menerangkan penyebabnya. Teori yang dapat diterima: a) primigravida, kehamilan ganda, hidramnion dan mola hidatidosa; b) makin tuanya kehamilan; c) kematian janin dalam rahim; d) edema, proteinuria, kejang dan koma (Prawirohardjo, 2006).

3.      Insiden
Di Indonesia, setelah perdarahan dan infeksi preeklampsia masih merupakan sebab utama kematian ibu, dan sebab kematian perinatal yang tinggi. Oleh karena itu diagnosis dini preeklampsia yang merupakan tingkat pendahuluan eklampsia, serta penanganannya perlu segera dilaksanakan untuk menurunkan angka kematian ibu dan anak.

4.      Patofisiologi
Pada preeklampsia terjadi spasme pembuluh darah disertai dengan retensi garam dan air. Pada biopsi ginjal ditemukan spasme hebat arteriola glomerulus. Pada beberapa kasus, lumen arteriola sedemikian sempitnya sehingga hanya dapat dilakui oleh satu sel darah merah. Jadi jika semua arteriola dalam tubuh mengalami spasme, maka tekanan darah akan naik sebagai usaha untuk mengatasi tekanan perifer agar oksigenasi jaringan dapat dicukupi. Sedangkan kenaikan berat badan dan edema yang disebabkan oleh penimbunan air yang berlebihan dalam ruangan interstitial belum diketahui sebabnya, mungkin karena retensi air dan garam. Proteinuria dapat disebabkan oleh spasme arteriola sehingga terjadi perubahan pada glomerulus (Mokhtar, 1998).

5.      Manifestasi klinik
Biasanya tanda-tanda pre eklampsia timbul dalam urutan: pertambahan berat badan yang berlebihan, diikuti edema, hipertensi, dan akhirnya proteinuria. Pada preeklampsia ringan tidak ditemukan gejala-gejala subyektif. Pada preeklampsia berat didapatkan sakit kepala di daerah frontal, diplopia, penglihatan kabur, nyeri di daerah epigastrium, mual atau muntah. Gejala-gejala ini sering ditemukan pada preeklampsia yang meningkat dan merupakan petunjuk bahwa eklampsia akan timbul.

6.      Tes Diagnostik
a.       Tes diagnostik dasar
Pengukuran tekanan darah, analisis protein dalam urin, pemeriksaan edema, pengukuran tinggi fundus uteri, pemeriksaan funduskopik.
b.      Tes laboratorium dasar
Evaluasi hematologik (hematokrit, jumlah trombosit, morfologi eritrosit pada sediaan apus darah tepi). Pemeriksaan fungsi hati (bilirubin, protein serum, aspartat aminotransferase, dan sebagainya).Pemeriksaan fungsi ginjal (ureum dan kreatinin). Uji untuk meramalkan hipertensi
Roll Over test. Pemberian infus angiotensin II.


7.      Penanganan medik
a.       Pencegahan
Pemeriksaan antenatal yang teratur dan bermutu serta teliti mengenai tanda-tanda sedini mungkin (preeklampsia ringan), lalu diberikan pengobatan yang cukup supaya penyakit tidak menjadi lebih berat.
Harus selalu waspada terhadap kemungkinan terjadinya pre-eklampsia.
Berikan penerangan tentang manfaat istirahat dan tidur, ketenangan, serta pentingnya mengatur diit rendah garam, lemak, serta karbohidrat dan tinggi protein, juga menjaga kenaikan berat badan yang berlebihan.
b.      Penanganan
Tujuan utama penanganan adalah:
1)      Untuk mencegah terjadinya pre eklampsi dan eklampsi.
2)      Hendaknya janin lahir hidup.
3)      Trauma pada janin seminimal mungkin.
Menurut Mansjoer (2001), penanganan preeklampsia ringan adalah:
1)      Pada pasien rawat jalan, anjurkan untuk istirahat baring 2 jam siang hari dan tidur >8 jam malam hari. Bila susah tidur, berikan fenobarbital 1-2 x 30 mg kunjungan ulang diakukan 1 minggu kemudian.
2)      Rawat pasien jika tidak ada perbaikan dalam 2 minggu pengobatan rawat jalan, BB meningkat >1kg/minggu, selama 2 kali berturut-turut atau tampak adanya tanda preeklampsia berat. Berikan obat antihipertensi Metildopa 3 x 125 mg, nifedipin 3-8 x 5-10 mg atau pindolol 1-3 x 5 mg. Jangan berikan antidiuretik dan tidak perlu diet rendah garam.
3)      Jika keadaaan ibu membaik dan tekanan darah dapat dipertahankan 140-150/90-100mmHg, pertahanakan sampai aterm sehingga ibu dapat berobat jalan dan anjurkan periksa tiap minggu. Kurangi dosisi hngga mencapai dosis optimal, tekanan darah tidak boleh < 120mmHg.


Penanganan preeklampsia berat:
Ibu yang didiagnosa preeklamsia berat/sindrom HELLP (preeklamsia berat disertai keluhan-keluhan lainnya) menderita penyakit kritis dan memerlukan penanganan yang tepat. Protokol pelaksanannya masih kontroversi antar rumah sakit saat ini. Pengenalan temuanklinis dan laboratorium sindrom HELLP sangatlah penting jika terapi yang agresif dan dini perlu dilakukan untuk mencegah mortalitas maternal dan perinatal. Serviks yang belum siap (belum berdilatasi atau melunak) karena usia kehamilan dan sifat agresif penyakit ini mendukung dilakukannya operasi sesaria. Induksi persalinan yang lama dapat meningkatkan morbiditas maternal.
1)      Segera rawat pasien di rumah sakit. Berikan MgSO4 dalam infuse Dekstrose 5% dengan kecepatan 15-20 tetes permenit. Dosisi awal MgSO4 2 g IV dalam 10 menit selanjutnya 2 g perjam ddalam drip infuse sampai tekanan darah antara 140-150/90-100 mmHg. Syarat pemberian MgSO4 adalah reflek patella kuat, RR>16 kali permenit, dan dieresis dalam 4 jam sebelumnya (0.5ml/kg BB/jam) adalah  > 100cc. Selama pemberian MgSO4, perhatikan tekanan darah, suhu, perasaan panas, serta wajah merah.
2)      Berikan nifedipin 9-3-4 x 10 mg per oral. Jika pada jam ke 4 diastolik belum turun sampai 20%, tambahkan 10 mg oral. Jika tekanan diastolic meningkat ≥110mmHG, berikan tambahan suglingual. Tujuannya adalah penurunan tekanan darah 20% dalam 6 jam, kemudian diharapkan stabil antara 140-150/90-100mmHg.
3)      Periksa tekanan darah, nadi, dan pernapasan tiap jam. Pasang kateter urin dan kantong urin. Ukur urin tiap 6 jam. Jika < 100ml/4 jam, kurangi dosis MgSO4 menjadi 1g/jam.

8.      Evaluasi
Untuk preeklamsia berat dan/atau HELLP, kondisi berikut harus dipenuhi:
a.       Ibu dan  janin tidak menderita gejala sisa akibat preeklamsia atau penatalaksanaannya.
b.      Ibu tidak akan mengalami eklamsia atau komplikasi yang berat.
c.       Janin tidak akan mengalami distress.
d.      Bayi baru lahir akan dilahirkan dalam kondisi optimal tanpa suatu efek akibat penyakit maternal dan penatalaksanaannya.
e.       Ibu akan melahirkan dalam kondisi optimal tanpa suatu akibat pada kondisi dan penatalaksanaannya.
f.       Keluarga akan mampu berkoping secara efektif terhadap keadaan ibu yang berisiko tinggi, penatalaksanaan, dan hasil akhirnya.


C.    RENCANA ASUHAN KEPERAWATAN

1.      Perubahan perfusi jaringan cerebral, renal, plasenta berhubungan dengan vasospasme (arteri spiral), edema, dan penurunan volume intravascular.
NOC:
a.       Serebral
1)      Status sirkulasi: TD dalam rentang normal.
2)      Kemampuan kognitif : menunjukkan perhatian, konsentrasi, dan orientasi.
3)      Terbebas dari kejang.
4)      Tidak mengalami sakit kepala.
b.      Renal
1)      Keseimbangan Cairan/Elektrolit: Uji laboratorium dalam batas normal, tidak ada distensi vena jugularis, tidak ada bunyi nafas tambahan, asupan dan haluaran dalam 24 jam seimbang.
2)      Hidrasi: tidak ada edema, haluaran urin dalam batas normal.
c.       Plasenta
Tidak ada penurunan denyut jantung janin
NIC:
a.       Cerebral, renal
1)      Kaji tanda-tanda vital : tekanan darah, nadi, suhu, dan respirasi, nistagmus, penglihatan kabur.
2)      Kaji reflek tendon profunda (RTP), reflek patella dan dan biseps serta klonus pada pergelangan kaki.
3)      Observasi adanya sakit kepala.
4)      Kaji tingkat kesadaran dan orientasi, perhatikan perubahan pasien sebagai respon terhadap rangsang.
5)      Pantau hasil laboratorium seperti peningkatan BUN, protein serum, dan penurunan hematokrit.
6)      Observasi adanya distensi vena leher dan ronkhi basah kasar.
7)      Kaji tingkat oedema.
8)      Pertahankan keakuratan pencatatan asupan dan haluaran.
9)      Kolaborasi pemberian obat antihipertensi: MgSo4 IM/IV sesuai dengan indikasi.
b.      Placenta
1)      Berikan informasi tentang pencatatan gerakan janin
2)      Identifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi aktivitas janin (merokok, kadar glukosa serum, tingkat kebisingan).
3)      Tinjau ulang tanda-tanda abrupsi plasenta (perdarahan vagina, nyeri tekan uterus, nyeri abdomen dan penurunan aktifitas janin).
4)      Pantau DJJ secara manual atau elektronik sesuai indikasi
5)      Perhatikan respon janin pada obat-obatan seperti MgSO4, fenobarbitol dan diazepam.

2.      Penurunan curah jantung berhubungan dengan peningkatan tahanan vaskuler sistemik, hipovolemia.
NOC:
a.       Keefektifan Pompa Jantung.
b.      Status tanda vital
NIC:
1)      Kaji dan pantau tekanan darah, status pernapasan dan status mental.
2)      Evauasi repon pasien terhadap terapi oksigen.
3)      Pantau dan dokumentasikan denyut dan irama jantung.
4)      Kaji toleransi aktivitas pasien dengan memperhatikan awal napas pendek, nyeri epigastrik dan kepala, pusing.

3.      Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh; hipoalbuminemia berhubungan dengan proteinuri.
NOC:
Status nutrisi: serum albumin dalam batas normal, hematokrit dalam batas normal
NIC:
a.       Kaji dan pantau nilai laboratorium terutama kadar albumin serum.
b.      Berikan informasi tentang nutrisi adekuat untuk ibu hamil dengan preeklampsia
c.       Anjurkan pasien untuk meningkatkan intake makanan yang mengandung protein, besi dan vitamin C, seperti: juice buah atau buah segar.
d.      Kurangi gara, gunakan rempah-rembah dan lada sebagai alternatif lain
e.       Pertahankan berat badan sesuai dengan berat badan normal.

4.      Risiko cedera ibu dan janin berhubungan dengan edema/hipoksia jaringan, vasospasme.
Hasil yang disarankan
Bebas dari tanda-tanda eklampsia
Tidak ada tanda-tanda fetal distress
Tindakan / Intervensi
a.       Kaji dan pantau adanya masalah sakit kepala, gangguan penglihatan, atau perubahan pada pemeriksaan funduscopi.
b.      Perhatikan perubahan pada tingkat kesadaran paisen dan DJJ.
c.       Pantau tanda-tanda distress janin (misal DJJ yang tiba-tiba turun).
d.      Kaji tanda-tanda ekslamsia yang akan datang: hiperaktivitas (3+ sampai 4+ dari reflek tendon dalam, klonus pergelangan kaki, Penurunan nadi dan pernafasan, Nyeri epigastrik dan oliguri.
e.       Lakukan tindakan untuk menurunkan kemungkinan kejang, misalkan pertahankan lingkungan tenang, batasi pengunjung dan tingkatkan istirahat.
f.       Pantau tanda-tanda dan gejala persalinan saat terjadinya kontraksi uterus.
g.      Pantau adannya tanda-tanda toksisitas MgSO4.

5.      Deficit pengetahuan (tentang proses penyakit) berhubungan dengan keterbatasasn paparan, kurangnya informasi.
NOC:
Pengajaran proses penyakit : Mengetahui tanda dan gejala penyakit dan mengetahui tindakan pencegahan
NIC:         
a.       Kaji tingkat pengetahuan pasien tentang preeklampsia.
b.      Tentukan kemampuan pasien untuk mempelajari informasi.
c.       Tentukan motivasi pasien untuk mempelajari informasi-informasi yang khusus.
d.      Memberikan informasi tentang preeklampsia (tanda dan gejala, pencegahan, dan tindakan yang perlu dilakukan segera jika tanda dan gejala muncul) sesuai dengan tingkat pemahaman pasien.

6.      Nyeri yang berhubungan dengan injuri fisik (tindakan operasi).
NOC: Kontrol nyeri.
NIC: Manajemen nyeri.
a.       Kaji nyeri secara konfrehensip: lokasi, karakteristik, durasi dan frekuensi.
b.      Observasi respon nonverbal.
c.       Kontrol faktor lingkungan yang menyebabkan ketidaknyamanan.
d.      Gunakan teknik nonpharmakologi (hypnosis, guide imagery).
e.       Turunkan nyeri dengan analgetic.
DAFTAR PUSTAKA

Doris, C. B., 1984. Introductory Maternity Nursing. 4th edition. JB. Lippincott Company, Philladelphia.

Johnson, M., Maas, M., 2000. Nursing Outcome Classification (NOC) 2nd ed. Mosby, Inc. St. Louis, Missouri.

Mansjor A, 1999. Kapita Selekta Kedokteran, Edisi 3, Jilid 1, Media Aeusculapius, Jakarta.

McCloskey, J., Bulechek, G., 2000. Nursing Interventions Classification (NIC), 4th ed. Mosby, Inc. St. Louis, Missouri.

Muchtar, R, 1998. Sinopsis Obstetri, Edisi 2, Jilid 1, EGC. Jakarta.

NANDA. 2005. Nursing Diagnosis : Definition and Classification 2005-2006. NANDA International. Philadelphia.

Prawiroharjo, 2006. Ilmu Kebidanan, Edisi 2 Cetakan II Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo. Jakarta.


Tucker, SM, (1998), Standar Perawatan Pasien, Edisi 5, Volume 4, Penerbit Buku Kedokteran, EGC. Jakarta.