ASUHAN KEPERAWATAN SECTIO CAESAREA
ATAS INDIKASI PREEKLAMSI
A. Sectio Caesarea
1. Pengertian
Sectio caesarea adalah suatu cara melahirkan janin
dengan sayatan pada dinding uterus melalui dinding depan perut (Mochtar, 1992).
Sectio caesarea adalah suatu persalinan buatan dimana
janin dilahirkan melalui suatu insisi pada dinding depan perut dan dinding
rahim dengan syarat rahim dalam keadaan utuh serta berat janin di atas 500 gram
(Sarwono, 1991).
2. Indikasi
Indikasi sectio caesarea menurut Cuningham (2005):
a.
Riwayat sectio caesarea
Uterus yang memiliki jaringan parut dianggap sebagai kontraindikasi untuk
melahirkan karena dikhawatirkan akan terjadi rupture uteri. Risiko ruptur uteri
meningkat seiring dengan jumlah insisi sebelumnya, klien dengan jaringan perut
melintang yang terbatas disegmen uterus bawah, kemungknan mengalami robekan
jaringan parut simtomatik pada kehamilan berikutnya. Wanita yang mengalami
ruptur uteri berisiko mengalami kekambuhan, sehingga tidak menutup kemungkinan
untuk dilakukan persalinan pervaginam tetapi dengan beresiko ruptur uteri
dengan akibat buruk bagi ibu dan janin.
b.
Distosia persalinan
Distosia berarti persalinan yang sulit dan ditandai oleh terlalu lambatnya
kemajuan persalinan, persalinan abnormal sering terjadi terdapat disproporsi
antara bagian presentasi janin dan jalan lahir, kelainan persalinan terdiri
dari:
1)
Ekspulsi (kelainan gaya dorong)
Oleh karena gaya uterus yang kurang kuat, dilatasi servik (disfungsi
uterus) dan kurangnya upaya utot volunter selama persalinan kala dua.
2)
Panggul sempit.
3)
Kelainan presentasi, posisi janin.
4)
Kelainan jaringan lemak saluran reproduksi yang
menghalangi turunnya janin.
5)
Gawat janin.
Keadaan gawat janin bisa mempengaruhi keadaan janin, jika penentuan waktu
sectio caesarea terlambat, kelainan neurologis seperti cerebral palsy dapat
dihindari dengan waktu yang tepat untuk sectio caesarea.
6)
Letak sungsang.
Janin dengan presetasi bokong mengalami peningkatan resiko prolaps tali
pusat dan terperangkapnya kepala apabila dilahirka pervaginam dibandingkan
dengan janin presentasi kepala.
3.
Kontra
Indikasi
Umumnya sectio caesarian tidak dilakukan pada janin
mati, syok, anemi berat sebelum diatasi, kelainan kongenital berat (monster).
4. Teknik Sectio Caesarea
a.
Insisi Abdomen.
1)
Insisi vertikal.
Insisi vertikal garis tengan intra umbilikus, insisi ini harus cukup
pajang agar janin dapat lahir tanpa kesulitan. Oleh karena itu, panjang insisi
harus sesuai dengan taksiran ukuran janin.
2)
Insisi transversal atau lintang.
Kulit dan jaringan subkutan disayat dengan menggunakan insisi transversal
rendah sedikit melengkung. Insisi dibuat setinggi garis rambut pubis dan
diperluar sedikit melebihi batas lateral otot rektus.
b.
Insisi Uterus
1)
Insisi caesarea klasik.
Insisi caesarea klasik adalah suatu insisi vertikal ke dalam korpus
uterus diatas segmen bawa uterus dan mencapai fundus uterus. Sebagian besar
insisi dibuat di segmen bawah uterus secara melintang, insisi melintang
disegman bawah memiliki keunggulan yaitu hanya memerlukan sedikit pemisahan
kandung kemih dari miometrium dibawahnya. Indikasi untuk dilakukan insisi
klasik untuk melahirkan janin:
a)
Apabila segman bawah uterus tidak bisa dipajankan atau
dimasuki dengan aman karena kandung kemih melekat dengan erat akibat pembedahan
sebelumnya, atau apabila teardapat karsinoma invasif di servik. Janin berukuran
besar, terletak melintang, selaput ketuban sudah pecah dan bahu terjepit jalan
lahir.
b)
Plasenta previa dengan implantasi anterior.
c)
Janian kecil, presentasi bokong, segman bawah uterus
tidak menipis.
d)
Obesitas berat.
2)
Insisi caesarea transversal.
Insisi tranversal melalui segman bawah uterus merupakan tindakan untuk
presentasi kepala, diantaranya:
a)
Lebih mudah diperbaiki.
b)
Kemungkinan ruptur disertai keluarnya janin ke rongga
abdomen pada kehamilan berikutnya.
c)
Tidak mengakibatkan perlekatan usus.
Insisi uterus harus dibuat cukup lebar agar kepala dan badan janin dapat
lahir tanpa merobek atau harus memotong arteri dan vena uterina yang berjalan
sepanjang batas lateral uterus.
5. Komplikasi
Komplikasi sectio caesarea mencakup periode masa nifas yang normal dan komplikasi setiap prosedur pembedahan utama. Kompikasi sectio caesarea menurut Hecker, (2001):
Komplikasi sectio caesarea mencakup periode masa nifas yang normal dan komplikasi setiap prosedur pembedahan utama. Kompikasi sectio caesarea menurut Hecker, (2001):
a.
Perdarahan
Perdarahan primer kemungkinan terjadi akibat kegagalan mencapai
hemostasis ditempat insisi rahim atau akibat atonia uteri, yang dapat terjadi
setelah pemanjangan masa persalinan.
b.
Sepsis sesudah pembedahan
Frekuensi dan komplikasi ini jauh lebih besar bila sectio caesarea
dilakukan selama persalinan atau bila terdapat infeksi dalam rahim. Antibiotik
profilaksis selama 24 jam diberikan untuk mengurangi sepsis.
c.
Cedera pada sekeliling stuktur
Beberapa organ di dalam abdomen seperti usus besar, kandung kemih,
pembuluh didalam ligamen yang lebar, dan ureter, terutama cenderung terjadi
cedera. Hematuria yang singkat dapat terjadi akibatterlalu antusias dalam
menggunakan retraktor didaerah dinding kandung kemih.
Komplikasi pada anak, seperti halnya dengan ibunya,
nasib anak yang dilahirkan dengan sectio caesarea banyak tergantung dari
keadaan yang menjadi alasan untuk melakukan sectio caesarea. Menurut statistik
di negara-negara dengan pengawasan antenatal dan intra natal yang baik,
kematian perinatal pasca sectio caesarea berkisar antara 4 dan 7 % (Sarwono,
1999).
6. Pemeriksaan Diagnostik
Pemeriksaan diagnostik menurut Tucker (1998):
a. Pemantauan
janin terhadap kesehatan janin.
b. Pemantauan
EKG.
c. Elektrolit.
d. Hemoglobin/Hematokrit.
e. Golongan
dan pencocokan silang darah.
f. Urinalisis.
g. Amniosentesis terhadap maturitas paru
janin sesuai indikasi.
h. Pemeriksaan sinar x sesuai indikasi.
i.
Ultrasound.
7. Tatalaksana
Penatalaksanaan medis dan perawatan setelah dilakukan
sectio caesarea menurut Cuningham, (2005):
a.
Perdarahan dari vagina harus dipantau dengan cermat.
b.
Fundus uteri harus sering dipalpasi untuk memastikan
bahwa uterus tetap berkontraksi dengan kuat.
c.
Analgesia meperidin 75-100 mg atau morfin 10-15 mg
diberikan, pemberian narkotik biasanya disertai anti emetik, misalnya
prometazin 25 mg.
d.
Periksa aliran darah uterus palingsedikit 30 ml/jam.
e.
Pemberian cairan intra vaskuler, 3 liter cairan
biasanya memadai untuk 24 jam pertama setelah pembedahan.
f.
Ambulasi, satu hari setelah pembedahan klien dapat
turun sebentar dari tempat tidur dengan bantuan orang lain.
g.
Perawatan luka, insisi diperiksa setiap hari, jahitan
kulit (klip) diangkat pada hari keempat setelah pembedahan.
h.
Pemeriksaan laboratorium, hematokrit diukur pagi hari
setelah pembedahan untuk memastikan perdarahan pasca operasi atau
mengisyaratkan hipovolemia.
i.
Mencegah infeksi pasca operasi, ampisilin 29 dosis
tunggal, sefalosporin, atau penisilin spekrum luas setelah janin lahir.
B. PREEKLAMSI
1. Pengertian
Preeklampsia adalah kumpulan gejala yang timbul pada
ibu hamil, bersalin dan dalam masa nifas yang terdiri dari trias: hipertensi,
proteinuri, dan edema. Umumnya terjadi pada trimester ke III (Prawirohardjo,
2006).
Kenaikan tekanan sistolik harus 30 mmHg atau lebih di
atas tekanan yang biasanya, atau mencapai 140 mmHg atau lebih. Tekanan sistolik
meningkat lebih 15 mmHg atau lebih atau mencapai 90 mmHg.
Preeklamsi dibagi dalam golongan ringan dan berat.
Dinyatakan berat bila ditemukan satu atau lebih dari gejala di bawah ini:
a.
Tekanan sistolik 160 mmHg atau lebih, atau tekanan
diastolik 110 mmHg atau lebih.
b.
Proteinuria 5 g atau lebih dalam 24 jam; 3 atau 4 +
pada pemeriksaan kualitatif.
c.
Oliguria, urine 400 cc atau kurang dalam 24 jam.
d.
Keluhan serebral gangguan penglihatan atau nyeri
epigastrium.
e. Edema
paru-paru atau sianosis
2.
Etiologi
Etiologi penyakit ini sampai saat ini belum diketahui
dengan pasti. Banyak teori-teori dikemukakan oleh para ahli yang mencoba
menerangkan penyebabnya. Teori yang dapat diterima: a) primigravida, kehamilan
ganda, hidramnion dan mola hidatidosa; b) makin tuanya kehamilan; c) kematian
janin dalam rahim; d) edema, proteinuria, kejang dan koma (Prawirohardjo,
2006).
3. Insiden
Di Indonesia, setelah perdarahan dan infeksi preeklampsia
masih merupakan sebab utama kematian ibu, dan sebab kematian perinatal yang
tinggi. Oleh karena itu diagnosis dini preeklampsia yang merupakan tingkat
pendahuluan eklampsia, serta penanganannya perlu segera dilaksanakan untuk
menurunkan angka kematian ibu dan anak.
4. Patofisiologi
Pada preeklampsia terjadi spasme pembuluh darah
disertai dengan retensi garam dan air. Pada biopsi ginjal ditemukan spasme
hebat arteriola glomerulus. Pada beberapa kasus, lumen arteriola sedemikian
sempitnya sehingga hanya dapat dilakui oleh satu sel darah merah. Jadi jika semua
arteriola dalam tubuh mengalami spasme, maka tekanan darah akan naik sebagai
usaha untuk mengatasi tekanan perifer agar oksigenasi jaringan dapat dicukupi.
Sedangkan kenaikan berat badan dan edema yang disebabkan oleh penimbunan air
yang berlebihan dalam ruangan interstitial belum diketahui sebabnya, mungkin
karena retensi air dan garam. Proteinuria dapat disebabkan oleh spasme
arteriola sehingga terjadi perubahan pada glomerulus (Mokhtar, 1998).
5. Manifestasi klinik
Biasanya tanda-tanda pre eklampsia timbul dalam urutan:
pertambahan berat badan yang berlebihan, diikuti edema, hipertensi, dan
akhirnya proteinuria. Pada preeklampsia ringan tidak ditemukan gejala-gejala
subyektif. Pada preeklampsia berat didapatkan sakit kepala di daerah frontal,
diplopia, penglihatan kabur, nyeri di daerah epigastrium, mual atau muntah.
Gejala-gejala ini sering ditemukan pada preeklampsia yang meningkat dan
merupakan petunjuk bahwa eklampsia akan timbul.
6.
Tes
Diagnostik
a.
Tes
diagnostik dasar
Pengukuran tekanan darah, analisis protein dalam urin, pemeriksaan edema,
pengukuran tinggi fundus uteri, pemeriksaan funduskopik.
b.
Tes
laboratorium dasar
Evaluasi hematologik (hematokrit, jumlah trombosit, morfologi eritrosit
pada sediaan apus darah tepi). Pemeriksaan fungsi hati (bilirubin, protein
serum, aspartat aminotransferase, dan sebagainya).Pemeriksaan fungsi ginjal
(ureum dan kreatinin). Uji untuk meramalkan hipertensi
Roll Over test. Pemberian infus angiotensin II.
Roll Over test. Pemberian infus angiotensin II.
7.
Penanganan
medik
a.
Pencegahan
Pemeriksaan antenatal yang teratur dan bermutu serta teliti mengenai
tanda-tanda sedini mungkin (preeklampsia ringan), lalu diberikan pengobatan
yang cukup supaya penyakit tidak menjadi lebih berat.
Harus selalu waspada terhadap kemungkinan terjadinya pre-eklampsia.
Berikan penerangan tentang manfaat istirahat dan tidur, ketenangan, serta pentingnya mengatur diit rendah garam, lemak, serta karbohidrat dan tinggi protein, juga menjaga kenaikan berat badan yang berlebihan.
Harus selalu waspada terhadap kemungkinan terjadinya pre-eklampsia.
Berikan penerangan tentang manfaat istirahat dan tidur, ketenangan, serta pentingnya mengatur diit rendah garam, lemak, serta karbohidrat dan tinggi protein, juga menjaga kenaikan berat badan yang berlebihan.
b.
Penanganan
Tujuan utama penanganan adalah:
1)
Untuk mencegah terjadinya pre eklampsi dan eklampsi.
2)
Hendaknya janin lahir hidup.
3)
Trauma pada janin seminimal mungkin.
Menurut
Mansjoer (2001), penanganan preeklampsia ringan adalah:
1)
Pada pasien rawat jalan, anjurkan untuk istirahat
baring 2 jam siang hari dan tidur >8 jam malam hari. Bila susah tidur,
berikan fenobarbital 1-2 x 30 mg kunjungan ulang diakukan 1 minggu kemudian.
2)
Rawat pasien jika tidak ada perbaikan dalam 2 minggu
pengobatan rawat jalan, BB meningkat >1kg/minggu, selama 2 kali
berturut-turut atau tampak adanya tanda preeklampsia berat. Berikan obat
antihipertensi Metildopa 3 x 125 mg, nifedipin 3-8 x 5-10 mg atau pindolol 1-3
x 5 mg. Jangan berikan antidiuretik dan tidak perlu diet rendah garam.
3)
Jika keadaaan ibu membaik dan tekanan darah dapat
dipertahankan 140-150/90-100mmHg, pertahanakan sampai aterm sehingga ibu dapat
berobat jalan dan anjurkan periksa tiap minggu. Kurangi dosisi hngga mencapai
dosis optimal, tekanan darah tidak boleh < 120mmHg.
Penanganan
preeklampsia berat:
Ibu
yang didiagnosa preeklamsia berat/sindrom HELLP (preeklamsia berat disertai
keluhan-keluhan lainnya) menderita penyakit kritis dan memerlukan penanganan
yang tepat. Protokol pelaksanannya masih kontroversi antar rumah sakit saat
ini. Pengenalan temuanklinis dan laboratorium sindrom HELLP sangatlah penting
jika terapi yang agresif dan dini perlu dilakukan untuk mencegah mortalitas
maternal dan perinatal. Serviks yang belum siap (belum berdilatasi atau
melunak) karena usia kehamilan dan sifat agresif penyakit ini mendukung
dilakukannya operasi sesaria. Induksi persalinan yang lama dapat meningkatkan
morbiditas maternal.
1) Segera rawat pasien di rumah sakit. Berikan MgSO4 dalam infuse
Dekstrose 5% dengan kecepatan 15-20 tetes permenit. Dosisi awal MgSO4
2 g IV dalam 10 menit selanjutnya 2 g perjam ddalam drip infuse sampai tekanan
darah antara 140-150/90-100 mmHg. Syarat pemberian MgSO4 adalah
reflek patella kuat, RR>16 kali permenit, dan dieresis dalam 4 jam
sebelumnya (0.5ml/kg BB/jam) adalah >
100cc. Selama pemberian MgSO4,
perhatikan tekanan darah, suhu, perasaan panas, serta wajah merah.
2) Berikan nifedipin 9-3-4 x 10 mg per oral. Jika pada jam ke 4 diastolik belum turun
sampai 20%, tambahkan 10 mg oral. Jika tekanan diastolic meningkat ≥110mmHG,
berikan tambahan suglingual. Tujuannya adalah penurunan tekanan darah 20% dalam
6 jam, kemudian diharapkan stabil antara 140-150/90-100mmHg.
3) Periksa tekanan darah, nadi, dan
pernapasan tiap jam. Pasang
kateter urin dan kantong urin. Ukur urin tiap 6 jam. Jika < 100ml/4 jam,
kurangi dosis MgSO4 menjadi 1g/jam.
8. Evaluasi
Untuk preeklamsia berat dan/atau HELLP, kondisi
berikut harus dipenuhi:
a. Ibu dan
janin tidak menderita gejala sisa akibat preeklamsia atau
penatalaksanaannya.
b. Ibu tidak akan mengalami eklamsia atau
komplikasi yang berat.
c. Janin tidak akan mengalami distress.
d. Bayi baru lahir akan dilahirkan dalam
kondisi optimal tanpa suatu efek akibat penyakit maternal dan
penatalaksanaannya.
e. Ibu akan melahirkan dalam kondisi optimal
tanpa suatu akibat pada kondisi dan penatalaksanaannya.
f. Keluarga akan mampu berkoping secara
efektif terhadap keadaan ibu yang berisiko tinggi, penatalaksanaan, dan hasil
akhirnya.
C. RENCANA ASUHAN KEPERAWATAN
1.
Perubahan perfusi jaringan cerebral, renal, plasenta
berhubungan dengan vasospasme (arteri spiral), edema, dan penurunan volume
intravascular.
NOC:
a.
Serebral
1) Status sirkulasi: TD dalam rentang normal.
2) Kemampuan kognitif : menunjukkan
perhatian, konsentrasi, dan orientasi.
3)
Terbebas dari kejang.
4)
Tidak mengalami sakit kepala.
b.
Renal
1)
Keseimbangan Cairan/Elektrolit: Uji laboratorium dalam
batas normal, tidak ada distensi vena jugularis, tidak ada bunyi nafas
tambahan, asupan dan haluaran dalam 24 jam seimbang.
2) Hidrasi: tidak ada edema, haluaran urin
dalam batas normal.
c.
Plasenta
Tidak ada penurunan denyut jantung janin
NIC:
a. Cerebral,
renal
1) Kaji tanda-tanda vital : tekanan darah,
nadi, suhu, dan respirasi, nistagmus, penglihatan kabur.
2) Kaji reflek tendon profunda (RTP), reflek
patella dan dan biseps serta klonus pada pergelangan kaki.
3)
Observasi adanya sakit kepala.
4) Kaji tingkat kesadaran dan orientasi,
perhatikan perubahan pasien sebagai respon terhadap rangsang.
5) Pantau hasil laboratorium seperti
peningkatan BUN, protein serum, dan penurunan hematokrit.
6) Observasi adanya distensi vena leher dan
ronkhi basah kasar.
7)
Kaji tingkat oedema.
8) Pertahankan keakuratan pencatatan asupan
dan haluaran.
9)
Kolaborasi pemberian obat antihipertensi: MgSo4 IM/IV
sesuai dengan indikasi.
b.
Placenta
1) Berikan informasi tentang pencatatan
gerakan janin
2) Identifikasi faktor-faktor yang
mempengaruhi aktivitas janin (merokok, kadar glukosa serum, tingkat kebisingan).
3) Tinjau ulang tanda-tanda abrupsi plasenta
(perdarahan vagina, nyeri tekan uterus, nyeri abdomen dan penurunan aktifitas
janin).
4) Pantau DJJ secara manual atau elektronik
sesuai indikasi
5) Perhatikan respon janin pada obat-obatan
seperti MgSO4, fenobarbitol dan diazepam.
2.
Penurunan
curah jantung berhubungan dengan peningkatan tahanan vaskuler sistemik,
hipovolemia.
NOC:
a.
Keefektifan Pompa Jantung.
b.
Status tanda vital
NIC:
1) Kaji dan pantau tekanan darah, status
pernapasan dan status mental.
2)
Evauasi repon pasien terhadap terapi oksigen.
3) Pantau dan dokumentasikan denyut dan irama
jantung.
4) Kaji toleransi aktivitas pasien dengan memperhatikan
awal napas pendek, nyeri epigastrik dan kepala, pusing.
3. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan
tubuh; hipoalbuminemia berhubungan dengan proteinuri.
NOC:
Status nutrisi: serum albumin dalam
batas normal, hematokrit dalam batas normal
NIC:
a. Kaji dan pantau nilai laboratorium
terutama kadar albumin serum.
b. Berikan informasi tentang nutrisi adekuat
untuk ibu hamil dengan preeklampsia
c. Anjurkan pasien untuk meningkatkan intake
makanan yang mengandung protein, besi dan vitamin C, seperti: juice buah atau
buah segar.
d. Kurangi gara, gunakan rempah-rembah dan
lada sebagai alternatif lain
e. Pertahankan berat badan sesuai dengan
berat badan normal.
4. Risiko cedera ibu dan janin berhubungan
dengan edema/hipoksia jaringan, vasospasme.
Hasil yang disarankan
Bebas dari tanda-tanda eklampsia
Tidak ada
tanda-tanda fetal distress
Tindakan /
Intervensi
a. Kaji dan pantau adanya masalah sakit
kepala, gangguan penglihatan, atau perubahan pada pemeriksaan funduscopi.
b. Perhatikan perubahan pada tingkat
kesadaran paisen dan DJJ.
c. Pantau tanda-tanda distress janin (misal
DJJ yang tiba-tiba turun).
d. Kaji tanda-tanda ekslamsia yang akan
datang: hiperaktivitas (3+ sampai 4+ dari reflek tendon dalam, klonus
pergelangan kaki, Penurunan nadi dan pernafasan, Nyeri epigastrik dan oliguri.
e. Lakukan tindakan untuk menurunkan
kemungkinan kejang, misalkan pertahankan lingkungan tenang, batasi pengunjung
dan tingkatkan istirahat.
f. Pantau tanda-tanda dan gejala persalinan
saat terjadinya kontraksi uterus.
g. Pantau adannya tanda-tanda toksisitas MgSO4.
5. Deficit pengetahuan (tentang proses
penyakit) berhubungan dengan keterbatasasn paparan, kurangnya informasi.
NOC:
Pengajaran proses penyakit : Mengetahui tanda dan
gejala penyakit dan mengetahui tindakan pencegahan
NIC:
a. Kaji tingkat pengetahuan pasien tentang
preeklampsia.
b. Tentukan kemampuan pasien untuk
mempelajari informasi.
c. Tentukan motivasi pasien untuk mempelajari
informasi-informasi yang khusus.
d. Memberikan informasi tentang preeklampsia
(tanda dan gejala, pencegahan, dan tindakan yang perlu dilakukan segera jika
tanda dan gejala muncul) sesuai dengan tingkat pemahaman pasien.
6.
Nyeri yang berhubungan dengan injuri fisik (tindakan
operasi).
NOC: Kontrol nyeri.
NIC: Manajemen nyeri.
a.
Kaji nyeri secara konfrehensip: lokasi, karakteristik,
durasi dan frekuensi.
b.
Observasi respon nonverbal.
c.
Kontrol faktor lingkungan yang menyebabkan
ketidaknyamanan.
d.
Gunakan teknik nonpharmakologi (hypnosis, guide
imagery).
e.
Turunkan nyeri dengan analgetic.
DAFTAR PUSTAKA
Doris, C. B., 1984. Introductory
Maternity Nursing. 4th edition. JB. Lippincott Company,
Philladelphia.
Johnson, M., Maas, M., 2000. Nursing
Outcome Classification (NOC) 2nd ed. Mosby, Inc. St. Louis,
Missouri.
Mansjor A, 1999. Kapita Selekta
Kedokteran, Edisi 3, Jilid 1, Media Aeusculapius, Jakarta.
McCloskey, J., Bulechek, G., 2000. Nursing
Interventions Classification (NIC), 4th ed. Mosby, Inc. St.
Louis, Missouri.
Muchtar, R, 1998. Sinopsis
Obstetri, Edisi 2, Jilid 1, EGC. Jakarta.
NANDA. 2005. Nursing
Diagnosis : Definition and Classification 2005-2006. NANDA International.
Philadelphia.
Prawiroharjo, 2006. Ilmu Kebidanan, Edisi 2 Cetakan II Yayasan Bina Pustaka
Sarwono Prawirohardjo. Jakarta.
Tucker, SM, (1998), Standar
Perawatan Pasien,
Edisi 5, Volume 4, Penerbit Buku
Kedokteran, EGC. Jakarta.