Sunday 28 April 2013

psikonutrient-nutrisi bagi gangguan jiwa - depresi mayor

banyak yang bilang, buat apa harus mengatur makanan pada pasien jiwa, dikasih makan sembarang aja mereka bisa idup.
gak gitu guys, kalau kita melihat disekitar kita ada tetangga yang sakit jiwa, atau saudara kita kebetulan ada yang sakit jiwa jangan dikasih makanan remah-remah atau sisa kita, emang mereka hewan? mereka kan sama aja manusia, tapi mereka lagi sakit. yaitu sakit jiwanya.
naaaah...karena dalam kondisi sakit, berarti makanan juga harus dijaga. tul? ;) sama kayak sakit-sakit lainnya, untuk pasien dengan gangguan jiwa ternyata ada lho nutrisi penting untuk mereka. ada jurnal atau peneltian juga tentang psikonutrient ini...
nah post berikut ini merupakan hasil analisa jurnal kelompok kami saat stase keperawatn jiwa.. (thanks buat mbak ama, andi, ria, galih, en anjas-psik ugm 07)

pertama kita akan membahas nutrisi pada pasien dengan depresi mayor:

Depresi mayor
Gejala yang terjadi pada depresi mayor adalah penurunan perasaan,peningkatan kesedihan,kecemasan, kehilangan nafsu makan,dan penurunan terhadap ketertarikan aktivitas. Pasien yang mengalami depresi mayor memiliki resiko tinggi untuk bunuh diri sehingga membutuhkan terapi psikoterapi dan atau antidepresan. Kadang diketahui bahwa depresi berhubungan dengan kekurangan neurotransmitters seperti serotonin, dopamine, noradrenaline, and GABA. Dilaporkan bahwa asam amino seperti  tryptophan, tyrosine, phenylalanine, and methionine dapat membantu dalam terapi pada gangguan mood termasuk depresi.
Konsumsi omega-3 dari ikan dan sumber lain dalam populasi dapat menurunkan kejadian depresi mayor.  Mekanisme dari aksi eicosapentaenoic acid (EPA) dalam tubuh dikonfersi dalam bentuk  docosahexaenoic acid (DHA), dan asam lemak  omega-3 dapat ditemukan dalam minyak ikan  dapat digunakan sebagai antidepresan dalam manusia. Banyak tujuan dari mekanisme neurotransmitters dan dari sumber lain dapat membatu yang lain. Sebagai contoh efek antidepresan dari EPA dapat dikonfersi menjadi prostaglandins, leukotrienes dan bahan kimia lain yang dibutuhkan oleh otak. Ada teori lain yang menyebutkan bahwa EPA dan  DHA merupakan sinyal  transduksi di sel otak yang dapat diaktivkan oleh peroxisomal proliferator-activated receptors (PPARs), inhibiting G-proteins and protein kinase C,  calcium, sodium, and potassium. Konsumsi asam lemak omega -3 dalam suplemen gizi sekitar 1.5 to 2 g of EPA perhari dapat menstimulasi peningkatan perasaan pada pasien depresi.
Tambahan asam lemak omega-3, vitamin B (asam folat ) dan magnesium dapat membantu menurunkan depresi. Pada penelitian random controltrial menyebutkan bahwa konsumsi asam folat dan B12  untuk terapi membutuhkan 0.8 mg asam folat/day dan 0.4 mg of vitamin B12/day dapat menurunkan gejala depresi.  Dari studi kasus pada pasien dengan terapi 125 to 300 mg of magnesium (as glycinate or taurinate) dapat menurunkan gejala depresi mayor lebih cepat 7hari dari pasien lain.

a.       Triptophan
sumber foto dari: http://gemamedika.blogspot.com/2013/02/makanan-kacang-kacangan-baik-bagi-tubuh.html
Tryptophan adalah precusor serotonin dan konfersi serotonin dapat dimakan ketika lambung kosong. Selain itu tryptophan dapat membantu untuk cepat tidur. Serotonin disekresikan oleh nukleus yang berasal dari rafe medial batang otak dan berproyeksi disebagian besar daerah otak, khususnya yang menuju radiks dorsalis medula spinalis dan menuju hipotalamus.  Sistem respons fisiologik pada stress akut dan kronik, terdapat respon fight and flight dimana berperan hormon epinefrin, norepinefrin dan dopamin, respon terhadap ancaman meliputi penyesuaian perpaduan banyak proses kompleks dalam organ-organ vital seperti otak, sistem kardiovaskular, otot, hati dan terlihat sedikit pada organ kulit, gastrointestinal dan jaringan limfoid. Sistem norepinefrin dan sistem serotonin normalnya menimbulkan dorongan bagi sistem limbik untuk meningkatkan perasaan seseorang terhadap rasa nyaman,menciptakan rasa bahagia, rasa puas, nafsu makan yang baik, dorongan seksual yang sesuai, dan keseimbangan psikomotor, tapi bila terlalu banyak akan menyebabkan serangan mania.
Contoh makanan yang mengandung tryptophan adalah pisang, susu, keju, daging, ikan, kacang-kacangan, kurma, telur, wijen, bunga matahari, beras merah, coklat, ayam.

b.      Omega 3

sumber gambar dari: http://efendybloger.blogspot.com/2012/01/perjalanan-menakjubkan-ikan-salmon.html
Asam lemak Omega-3 terdiri dari :
           Docosahexaenoic acid (DHA),
           Eicosapentaenoic acid (EPA), dan
           Alpha-linolenic acid (ALA).
DHA bisa menaikkan 25 persen dari lemak tubuh  dan mengolahnya menjadi produksi dan mengalirkan hormon kimia serotonin yang membuat mood baik. Orang yang sedang mengalami depresi biasanya karena kekurangan DHA. Para peneliti meyakini bahwa suplemen DHA lebih pas dan efektif sebagai alternatif obat antidepresan.
Contoh makanan yang mengandung omega 3 adalah ikan salmon, ikan tuna, makarel, dan makanan laut termasuk ganggang, minyak kacang.

c.       Gaba (gamma-aminobutyric acid)

sumber gambar dari: http://syekhfanismd.lecture.ub.ac.id/2013/02/soil-plasma-nuthfah/
Saat seseorang mengalami stres, terjadi ketidakseimbangan di area otak. ketidakseimbangan di area otak itu termasuk rendahnya aktivitas di area otak yang disebut gamma amino-butyric acid (GABA). Pada penderita epilepsi, nyeri kronik, depresi, dan kecemasaan juga ditemukan adanya ketidakaktifan GABA.
Makanan yang mengandung GABA adalah nangka, sukun, kluwih.

d.      Tirosin

sumber gambar dari: http://www.fairtrasa.com/portfolio-items/banana/
Tyrosine bukan merupakan asam amino esensial karena dapat dibuat dari asam amino phenylalanine. Tyrosine dapat dikonversi menjadi dopamine and norepinephrine.  Methionine dikombinasikan dengan ATP untuk memproduksi S-adenosylmethionine (SAM),dan memfasilitasi produksi neurotransmitters diotak. Ada penelitian yang menyebutkan bahwa  neurotransmitter membutuhkan koncumsi suplemen setiap hari untuk meningkatkan efek antidepresan.
Manfaat tirosin, bersamaan dengan asam amino lainnya, berperan sebagai prekursor nor-epinephrine dan epinephrine (dua hormon utama tubuh terkait stres), tirosin juga membantu meredakan efek merugikan dari lingkungan, psikososial dan stres fisik.
Contoh makanan yang mengandung tirosin adalah pisang, ikan, alpukat, hati ayam pisang, ikan.

e.       Asam Folat

sumber gambar dari: http://ngenee.blogspot.com/2012/07/manfaat-brokoli-bagi-kesehatan.html
Asam folat merupakan kunci penyeimbang zat kimia otak dan pengatur keakuratan fungsi nutrisi neurotransmitter. Selain itu, asam folat juga mempunyai efek yang sangat kuat terhadap otak dengan cara meningkatkan kadar SAMe  (S-adenosylmethionine), yang berfungsi meningkatkan kadar serotonin yang menenangkan. Untuk mengatasi depresi klinis dianjurkan mengonsumsi 0.8 mg sehari.
Contoh makanan yang mengandung folat adalah brokoli, kacang-kacangan, telur, bayam ,alpukat, gandum dan susu, strowberi, jeruk, hati sapi, pisang.

f.       Magnesium

sumber gambar dari: http://www.ranchmarket.co.id/ranch-99-markets-blog/behind-the-story-almond/
Adalah pembentukan protein tulang, asam lemak, sel-sel baru, mengaktifkan vitamin B, merelaksasikan otot, dan pembekuan darah
Contoh makanan yang mengandung magnesium adalah : sayuran berdaun hijau,kacang kacangan, biji bijian,ikan, kacang almon kering,kacang mede, bayam, alpukat, pisang, kismis.

g.      S-adenosylmethionine

sumber gambar dari: http://whatscookingamerica.net/avacado.htm
S-adenosylmethionine berfungsi untuk meningkatkan kerja serotonin yang menenangkan .
Contoh makanan yang mengandung S-adenosylmethionine adalah alpukat, hati ayam pisang, ikan.

sumber:

Lakhan, Shaheen., Karen F. 2008. Nutritional therapies for mental health disorder. Nutrition Journal. USA.
Maslim R. 2003. Diagnosis Gangguan Jiwa. Jakarta: Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa FK Unika Atma Jaya.
Maslim R. 2007. Panduan Praktis Penggunaan Klinis Obat Psikotropik. Edisi Ketiga. Jakarta: Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa FK Unika Atma Jaya.
Liza. 2010. Otak Manusia, Neurotransmitter, dan Stress. Dikes Kab. Cirebon.
George Mateljan Foundation. 2012. What can high choline foods do for you?. from: http://www.whfoods.com/genpage.php?tname=nutrient&dbid=50 .akses 31 Oktober 2012
Fakhria, Santi. 2006. Pengaruh Penambahan Glisin Terhadap Nilai MCV. Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro. Semarang
Sitompul, Saulina. 2007. Komposisi asam-asam amino dari biji-bijian dan kacang-kacangan. Balai Ternak Ciawi. Bogor.
Widodo, Gunawan., Rina Herowati. 2010. Neurotransmitter. Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara. Medan.
Offermanns,S. and Rosenthal,W.,(Eds). 2008. Encyclopedia of Molecular Pharmacology, USA.

diabetes mellitus


video tadi untuk mudahnya mengenal diabetes mellitus, bahasa inggris sih, tapi menurutku lebih mudah dipahami kan? hehe...maksa banget..
oke, kita bicara ttg diabetes mellitus yuuk..
jadi gini,
penyakit ini lebih sering dikenal sebagai penyakit gula

A.   KONSEP MEDIS
1.    Pengertian
Diabetes Melitus adalah gangguan metabolisme yang secara genetic dan klinis termasuk heterogen dengan manifestasi berupa hilangnya toleransi karbohidrat (Price dan Wilson, 1995).
Diabetes melitus adalah keadaan hiperglikemia kronik disertai berbagai keluhan metabolic akibat gangguan hormonal yang menimbulkan berbagai komplikasi kronik pada berbagai organ dan system tubuh seperti mata, ginjal, saraf, dan pembuluh darah, dan lain-lain (Mansjoer, 1999).
Diabetes melitus adalah sekelompok kelainan heterogen yang ditandai oleh kenaikan kadar glukosa dalam darah atau hiperglikemia (Brunner dan Suddarth, 2002).
Diabetes mellitus adalah sindrom yang disebabkan oleh ketidaseimbangan antara tuntutan dan suplai insulin (H. Rumahorbo, 1999).

2.    Etiologi
               Penyebab diabetes mellitus sampai sekarang belum diketahui dengan pasti tetapi umumnya diketahui karena kekurangan insulin adalah penyebab utama dan faktor herediter memegang peranan penting.
a.   Insulin Dependent Diabetes Mellitus (IDDM)
Sering terjadi pada usia sebelum 30 tahun. Biasanya juga disebut Juvenille Diabetes, yang gangguan ini ditandai dengan adanya hiperglikemia (meningkatnya kadar gula darah).
Faktor genetik dan lingkungan merupakan faktor pencetus IDDM. Oleh karena itu insiden lebih tinggi atau adanya infeksi virus (dari lingkungan) misalnya coxsackievirus B dan streptococcus sehingga pengaruh lingkungan dipercaya mempunyai peranan dalam terjadinya DM.
Virus atau mikroorganisme akan menyerang pulau – pulau langerhans pankreas, yang membuat kehilangan produksi insulin. Dapat pula akibat respon autoimmune, dimana antibody sendiri akan menyerang sel bata pankreas. Faktor herediter, juga dipercaya memainkan peran munculnya penyakit ini (Brunner & Suddart, 2002)
b.   Non Insulin Dependent Diabetes Mellitus (NIDDM)
Virus dan kuman leukosit antigen tidak nampak memainkan peran terjadinya NIDDM. Faktor herediter memainkan peran yang sangat besar. Riset melaporkan bahwa obesitas salah satu faktor determinan terjadinya NIDDM sekitar 80% klien NIDDM adalah kegemukan. Overweight membutuhkan banyak insulin untuk metabolisme. Terjadinya hiperglikemia disaat pankreas tidak cukup menghasilkan insulin sesuai kebutuhan tubuh atau saat jumlah reseptor insulin menurun atau mengalami gangguan. Faktor resiko dapat dijumpai pada klien dengan riwayat keluarga menderita DM adalah resiko yang besar. Pencegahan utama NIDDM adalah mempertahankan berat badan ideal. Pencegahan sekunder berupa program penurunan berat badan, olah raga dan diet. Oleh karena DM tidak selalu dapat dicegah maka sebaiknya sudah dideteksi pada tahap awal tanda-tanda/gejala yang ditemukan adalah kegemukan, perasaan haus yang berlebihan, lapar, diuresis dan kehilangan berat badan, bayi lahir lebih dari berat badan normal, memiliki riwayat keluarga DM, usia diatas 40 tahun, bila ditemukan peningkatan gula darah (Brunner & Suddart, 2002)

3.    Insiden
            Tingkat prevalensi dari DM adalah tinggi, diduga terdapat sekitar 10 juta kasus diabetes di USA dan setiap tahunnya didiagnosis 600.000 kasus baru serta 75 % penderita DM akhirnya meninggal karena penyakit vaskuler. Penyakit  ini cenderung tinggi pada negara maju dari pada negara sedang berkembang, karena perbedaan kebiasaan hidup. Dampak ekonomi jelas terlihat akibat adanya biaya pengobatan dan hilangnya pendapatan.  Disamping konsekuensi finansial karena banyaknya komplikasi seperti kebutaan dan penyakit vaskuler. Perbandingan antara wanita dan pria yaitu 3 : 2, hal ini kemungkinan karena faktor obesitas dan kehamilan (Price dan Wilson, 1995).

4.    Anatomi dan Fisiologi
c.   Anatomi Pankreas
Pankreas terletak melintang dibagian atas abdomen dibelakang gaster didalam ruang retroperitoneal. Disebelah kiri ekor pankreas mencapai hilus limpa diarah kronio – dorsal dan bagian atas kiri kaput pankreas dihubungkan dengan corpus pankreas oleh leher pankreas yaitu bagian pankreas yang lebarnya biasanya tidak lebih dari 4 cm, arteri dan vena mesentrika superior berada dileher pankreas bagian kiri bawah kaput pankreas ini disebut processus unsinatis pankreas. Pankreas terdiri dari dua jaringan utama yaitu :
1)    Asinus, yang mengekskresikan pencernaan ke dalam duodenum.
2)    Pulau Langerhans, yang tidak mempunyai alat untuk mengeluarkan getahnya namun sebaliknya mensekresi insulin dan glukagon langsung kedalam darah.
Pankreas manusia mempunyai 1 – 2 juta pulau langerhans, setiap pulau langerhans hanya berdiameter 0,3 mm dan tersusun mengelilingi pembuluh darah kapiler.
Pulau langerhans mengandung tiga jenis sel utama, yakni sel-alfa, beta dan delta. Sel beta yang mencakup kira-kira 60 % dari semua sel terletak terutama ditengah setiap pulau dan mensekresikan insulin. Granula sel B merupakan bungkusan insulin dalam sitoplasma sel. Tiap bungkusan bervariasi antara spesies satu dengan yang lain. Dalam sel B , molekul insulin membentuk polimer yang juga kompleks dengan seng. Perbedaan dalam bentuk bungkusan ini mungkin karena perbedaan dalam ukuran polimer atau agregat seng dari insulin. Insulin disintesis di dalam retikulum endoplasma sel B, kemudian diangkut ke aparatus golgi, tempat ia dibungkus didalam granula yang diikat membran. Granula ini bergerak ke dinding sel oleh suatu proses yang tampaknya sel ini yang mengeluarkan insulin ke daerah luar dengan eksositosis. Kemudian insulin melintasi membran basalis sel B serta kapiler  berdekatan dan endotel fenestrata kapiler untuk mencapai aliran darah (Ganong, 1995). Sel alfa yang mencakup kira-kira 25 % dari seluruh sel mensekresikan glukagon. Sel delta yang merupakan 10 % dari seluruh sel mensekresikan somatostatin (Pearce, 2000)
d.   Fisiologi Pankreas
Kelenjar pankreas dalam mengatur metabolisme glukosa dalam tubuh berupa hormon-hormon yang disekresikan oleh sel – sel dipulau langerhans.  Hormon-hormon ini dapat diklasifikasikan sebagai hormon yang merendahkan kadar glukosa darah yaitu insulin dan hormon yang dapat meningkatkan glukosa darah yaitu glukagon.

Fisiologi Insulin :
Hubungan yang erat antara berbagai jenis sel dipulau langerhans menyebabkan timbulnya pengaturan secara langsung sekresi beberapa jenis hormone lainnya, contohnya insulin menghambat sekresi glukagon, somatostatin menghambat sekresi glukagon dan insulin.
Insulin dilepaskan pada suatu kadar batas oleh sel-sel beta pulau langerhans. Rangsangan utama pelepasan insulin diatas kadar basal adalah peningkatan kadar glukosa darah. Kadar glukosa darah puasa dalam keadaan normal adalah 80-90 mg/dl. Insulin bekerja dengan cara berkaitan dengan reseptor insulin dan setelah berikatan, insulin bekerja melalui perantara kedua untuk menyebabkan peningkatan transportasi glukosa kedalam sel dan dapat segera digunakan untuk menghasilkan energi atau dapat disimpan didalam hati (Guyton & Hall, 1999)

5.    Patofisiologi
a.       DM Tipe I
Pada Diabetes tipe I terdapat ketidak mampuan pankreas menghasilkan insulin karena hancurnya sel-sel beta pulau langerhans. Dalam hal ini menimbulkan hiperglikemia puasa dan hiperglikemia post prandial.
Dengan tingginya konsentrasi glukosa dalam darah, maka akan muncul glukosuria (glukosa dalam darah) dan ekskresi ini akan disertai pengeluaran cairan dan elektrolit yang berlebihan (diuresis osmotic) sehingga pasien
 akan mengalami peningkatan dalam berkemih (poliurra) dan rasa haus (polidipsia).
Defesiensi insulin juga mengganggu metabolisme protein dan lemak sehingga terjadi penurunan berat badan akan muncul gejala peningkatan selera makan (polifagia). Akibat yang lain yaitu terjadinya proses glikogenolisis (pemecahan glukosa yang disimpan) dan glukogeonesis tanpa hambatan sehingga efeknya berupa pemecahan lemak dan terjadi peningkatan keton yangdapat mengganggu keseimbangan asam basa dan mangarah terjadinya ketoasidosis (Corwin, 2000)
b.   DM Tipe II
Terdapat dua masalah utama pada DM Tipe II yaitu resistensi insulin dan gangguan sekresi insulin. Normalnya insulin akan berkaitan pada reseptor kurang dan meskipun kadar insulin tinggi dalam darah tetap saja glukosa tidak dapat masuk kedalam sel sehingga sel akan kekurangan glukosa.
Mekanisme inilah yang dikatakan sebagai resistensi insulin. Untuk mengatasi resistensi insulin dan mencegah terbentuknya glukosa dalam darah yang berlebihan maka harus terdapat peningkatan jumlah insulin yang disekresikan. Namun demikian jika sel-sel beta tidak mampu mengimbanginya maka kadar glukosa akan meningkat dan terjadilah DM tipe II (Corwin, 2000)

6.    Manifestasi Klinik
a.       Poliuria
Kekurangan insulin untuk mengangkut glukosa melalui membrane dalam sel menyebabkan hiperglikemia sehingga serum plasma meningkat atau hiperosmolariti menyebabkan cairan intrasel berdifusi kedalam sirkulasi atau cairan intravaskuler, aliran darah ke ginjal meningkat sebagai akibat dari hiperosmolariti dan akibatnya akan terjadi diuresis osmotic (poliuria).
b.      Polidipsia
Akibat meningkatnya difusi cairan dari intrasel kedalam vaskuler menyebabkan penurunan volume intrasel sehingga efeknya adalah dehidrasi sel. Akibat dari dehidrasi sel mulut menjadi kering dan sensor haus teraktivasi menyebabkan seseorang haus terus dan ingin selalu minum (polidipsia).
c.       Poliphagia
Karena glukosa tidak dapat masuk ke sel akibat dari menurunnya kadar insulin maka produksi energi menurun, penurunan energi akan menstimulasi rasa lapar. Maka reaksi yang terjadi adalah seseorang akan lebih banyak makan (poliphagia).
d.      Penurunan berat badan
Karena glukosa tidak dapat di transport kedalam sel maka sel kekurangan cairan dan tidak mampu mengadakan metabolisme, akibat dari itu maka sel akan menciut, sehingga seluruh jaringan terutama otot mengalami atrofidan penurunan secara otomatis.
e.       Malaise atau kelemahan (Brunner & Suddart, 2002)

7.    Komplikasi
            Diabetes Mellitus bila tidak ditangani dengan baik akan menyebabkan komplikasi pada berbagai organ tubuh seperti mata, ginjal, jantung, pembuluh darah kaki, saraf, dan lain-lain (corwin, 2000)

8.    Tes Diagnostik
a.       Adanya glukosa dalam urine. Dapat diperiksa dengan cara benedict (reduksi) yang tidak khasuntuk glukosa, karena dapat positif pada diabetes.
b.      Diagnostik lebih pasti adalah dengan memeriksa kadar glukosa dalam darah dengan cara Hegedroton Jensen (reduksi).
1)    Gula darah puasa tinggi < 140 mg/dl.
2)    Test toleransi glukosa (TTG) 2 jam pertama < 200 mg/dl.
3)    Osmolitas serum 300 m osm/kg.
4)    Urine =  glukosa positif, keton positif, aseton positif atau negative (Bare & suzanne, 2002)

8.  Penatalaksanaan Medik
Diabetes Mellitus jika tidak dikelola dengan baik akamn menimbulkan berbagai penyakit dan diperlukan kerjasama semua pihak ditingkat pelayanan kesehatan. Untuk mencapai tujuan tersebut dilakukan berbagai usaha dan akan diuraikan sebagai berikut :
a.    Perencanaan Makanan.
Standar yang dianjurkan adalah makanan dengan komposisi yang seimbang dalam hal karbohidrat, protein dan lemak yang sesuai dengan kecukupan gizi baik yaitu :
1) Karbohidrat sebanyak               60 – 70 %
2) Protein sebanyak                       10 – 15 %
3) Lemak sebanyak                       20 – 25 %
Jumlah kalori disesuaikan dengan pertumbuhan, status gizi, umur, stress akut dan kegiatan jasmani. Untuk kepentingan klinik praktis, penentuan jumlah kalori dipakai rumus Broca yaitu Barat Badan Ideal = (TB-100)-10%, sehingga didapatkan =
1)    Berat badan kurang = < 90% dari BB Ideal
2)    Berat badan normal = 90-110% dari BB Ideal
3)    Berat badan lebih = 110-120% dari BB Ideal
4)    Gemuk = > 120% dari BB Ideal.
Jumlah kalori yang diperlukan dihitung dari BB Ideal dikali kelebihan kalori basal yaitu untuk laki-laki 30 kkal/kg BB, dan wanita 25 kkal/kg BB, kemudian ditambah untuk kebutuhan kalori aktivitas (10-30% untuk pekerja berat). Koreksi status gizi (gemuk dikurangi, kurus ditambah) dan kalori untuk menghadapi stress akut sesuai dengan kebutuhan.
Makanan sejumlah kalori terhitung dengan komposisi tersebut diatas dibagi dalam beberapa porsi yaitu :
1) Makanan pagi sebanyak            20%
2) Makanan siang sebanyak          30%
3) Makanan sore sebanyak            25%
4) 2-3 porsi makanan ringan sebanyak 10-15 % diantaranya.
            b.   Latihan Jasmani
Dianjurkan latihan jasmani secara teratur (3-4 kali seminggu) selama kurang lebih 30 menit yang disesuaikan dengan kemampuan dan kondisi penyakit penyerta.
Sebagai contoh olah raga ringan adalah berjalan kaki biasa selama 30 menit, olehraga sedang berjalan cepat selama 20 menit dan olah raga berat jogging.
n.   Obat Hipoglikemik
1)   Sulfonilurea
Obat golongan sulfonylurea bekerja dengan cara :
1)   Menstimulasi penglepasan insulin yang tersimpan.
2)   Menurunkan ambang sekresi insulin.
3)   Meningkatkan sekresi insulin sebagai akibat rangsangan glukosa.
Obat golongan ini biasanya diberikan pada pasien dengan BB normal dan masih bisa dipakai pada pasien yang beratnya sedikit lebih.
Klorpropamid kurang dianjurkan pada keadaan insufisiensi renal dan orangtua karena resiko hipoglikema yang berkepanjangan, demikian juga gibenklamid. Glukuidon juga dipakai untuk pasien dengan gangguan fungsi hati atau ginjal.
2)   Biguanid
      Preparat yang ada dan aman dipakai yaitu metformin.
      Sebagai obat tunggal dianjurkan pada pasien gemuk (imt 30) untuk pasien yang berat lebih (imt 27-30) dapat juga dikombinasikan dengan golongan      sulfonylurea
3)   Insulin
Indikasi pengobatan dengan insulin adalah :
a)    Semua penderita DM dari setiap umur (baik IDDM maupun NIDDM) dalam keadaan ketoasidosis atau pernah masuk kedalam ketoasidosis.
b)    DM dengan kehamilan/ DM gestasional yang tidak terkendali dengan diet (perencanaan makanan).
c)    DM yang tidak berhasil dikelola dengan obat hipoglikemik oral dosif maksimal. Dosis insulin oral atau suntikan dimulai dengan dosis rendah dan dinaikkan perlahan – lahan sesuai dengan hasil glukosa darah pasien. Bila sulfonylurea atau metformin telah diterima sampai dosis maksimal tetapi tidak tercapai sasaran glukosa darah maka dianjurkan penggunaan kombinasi sulfonylurea dan insulin.
d)    Penyuluhan untuk merancanakan pengelolaan sangat penting untuk mendapatkan hasil yang maksimal. Edukator bagi pasien diabetes yaitu pendidikan dan pelatihan mengenai pengetahuan dan keterampilan yang bertujuan menunjang perubahan perilaku untuk meningkatkan pemahaman pasien akan penyakitnya, yang diperlukan untuk mencapai keadaan sehat yang optimal. Penyesuaian keadaan psikologik kualifas hidup yang lebih baik. Edukasi merupakan bagian integral dari asuhan keperawatan diabetes (Bare & Suzanne, 2002)

Daftar pustaka

Gibson, John, 2003, Anatomi dan Fisiologi Modern untuk Perawat, EGC, Jakarta
Hinchliff, 1999, Kamus Keperawatan, EGC, Jakarta
Price, S. A dan Wilson, L. M, 1995,  Patofisiologi, EGC, Jakarta
Sherwood,  2001, Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem, (edisi 21), EGC, Jakarta

story - doakan aku ya mbak..


Wajah bocahnya melihatkan guratan ketakutan, ketakutan akan masa depan, masa depannya dan juga keluarganya.
Dia adalah anak pertama dalam keluarga itu berusia 17 tahun, adiknya ada 5 dan pastinya masih kecil-kecil. Ibu seorang buruh gendong dan ayah seorang buruh bangunan yang dibayar harian, jika tidak ada kerjaan pasti tidak bekerja. penghasilan tidak seberapa membuat anak ini membantu ayahnya sebagai buruh bangunan dan melepas keinginannya untuk menjadi guru.
Ayahnya telah lebih dahulu harus mencucikan darahnya seminggu dua kali menggunakan mesin di rumah sakit dan ini telah berjalan selama satu tahun. Dia membayangkan dia juga akan melakukan hal itu, pada usianya yang baru bocah ini.  Biaya memang ditanggung oleh jaminan kesehatan miskin, tapi apakah akan ada batasnya? Dan apakah akan dapat seperti semula dapat menjalankan aktivitas?
Biaya per satu kali cuci darah bisa mencapai 600rb dan jika dilakukan 2 kali seminggu berarti seminggu mengeluarkan uang 1.200.000, kalau dalam satu keluarga ada 2 orang yang cuci darah berarti seminggu memerlukan uang 2.400.000 itu hanya 1 minggu, kalau 1 tahun? Kalau sampai akhir hayat? Dan entah kapan akan berakhir.
“Mbak, aku itu nyesel, tapi dulu tu kalau gak minum itu rasaya gak bersemangat, “ lalu dia menyebutkan merk minuman bertenaga yang rosa itu.
“Kerja nguli kan sehari bisa 14 jam, tidur juga kurang, kalau gak minum itu pasti ngantuk dan lemes, sehari bisa 10 bungkus mbak, sampai air putih itu gak pernah tersentuh, sambil makan pun minumnya harus itu, air putih gak ada rasanya mbak”
“Mbak, kalau sudah cuci darah umur kita tinggal berapa lama lagi?”
“Mbak, aku masih kecil ya, ada gak yang sakit ini umurnya sama kayak aku?”
“Mbak, kalau dicuci darahnya itu sakit gak ya?”
“Mbak, ada gak ya besok yang mau nikah ama aku kalau aku kayak gini?”
“Mbak, aku masih bisa kerja lagi gak?”
“Mbak, makasih udah mau ndengerin aku, mbak, minta doanya ya.”

Pengkajian syaraf-syaraf kranial

ini nih...kalau lagi ujian *dipanggil responsi* maka kadang kita tu dapet PR, yang harus dikerjakan dirumah.
entah nih, lagi blenk aja isi kepala, lupa gimana caranya pengkajian kekuatan otot..haha...
posting ini ah...


Terdapat 12 pasang syaraf kranial dimana beberapa diantaranya adalah serabut campuran, yaitu gabungan syaraf motorik dan sensorik, sementara lainnya adalah hanya syaraf motorik ataupun hanya syaraf sensorik.
1. Nervus Olfaktorius/N I (sensorik)
Nervus olfaktorius diperiksa dengan zat-zat (bau-bauan) seperti : kopi, teh dan tembakau. Pada pemeriksaan ini yang perlu diperhatikan adalah adanya penyakit intranasal seperti influenza karena dapat memberikan hasil negatif atau hasil pemeriksaan menjadi samar/tidak valid.
Cara pemeriksaan : tiap lubang hidung diuji terpisah. Pasien atau pemeriksa menutup salah satu lubang hidung pasien kemudian pasien disuruh mencium salah satu zat dan tanyakan apakah pasien mencium sesuatu dan tanyakan zat yang dicium. Untuk hasil yang valid, lakukan dengan beberapa zat/bau-bauan yang berbeda, tidak hanya pada 1 macam zat saja.
Penilaian : Pasien yang dapat mengenal semua zat dengan baik disebut daya cium baik (normosmi). Bila daya cium kurang disebut hiposmi dan bila tidak dapat mencium sama sekali disebut anosmi.
2. Nervus Optikus/N II (sensorik)
Kelainan-kelainan pada mata perlu dicatat sebelum pemeriksaan misalnya : katarak, infeksi konjungtiva atau infeksi lainnya. Bila pasien menggunakan kaca mata tetap diperkenankan dipakai.
a. Ketajaman penglihatan
Pasien disuruh membaca buku dengan jarak 35 cm kemudian dinilai apakah pasien dapat melihat tulisan dengan jelas, kalau tidak bisa lanjutkan dengan jarak baca yang dapat digunakan klien, catat jarak baca klien tersebut.
Pasien disuruh melihat satu benda, tanyakan apakah benda yang dilihat jelas/kabur, dua bentuk atau tidak terlihat sama sekali /buta.
b. Lapangan penglihatan
Cara pemeriksaan : alat yang digunakan sebagai objek biasanya jari pemeriksa. Fungsi mata diperiksa bergantian. Pasien dan pemeriksa duduk atau berdiri berhadapan, mata yang akan diperiksa berhadapan sejajar dengan mata pemeriksa. Jarak antara pemeriksa dan pasien berkisar 60-100 cm. Mata yang lain ditutup. Objek digerakkan oleh pemeriksa pada bidang tengah kedalam sampai pasien melihat objek, catat berapa derajat lapang penglihatan klien.
3. Nervus Okulomotorius/N III (motorik)
Merupakan nervus yang mempersarafi otot-otot bola mata ekstena, levator palpeora dan konstriktor pupil.
Cara pemeriksaan :
Diobservasi apakah terdapat edema kelopak mata, hipermi konjungtiva,hipermi sklerata kelopak mata jatuh (ptosis), celah mata sempit (endophthalmus), dan bola mata menonjol (exophthalmus).
4. Nervus Trokhlearis/N IV (motorik)
Pemeriksaan pupil dengan menggunakan penerangan senter kecil. Yang diperiksa adalah ukuran pupil (miosis bila ukuran pupil < 2 mm, normal dengan ukuran 4-5 mm, pin point pupil bila ukuran pupil sangat kecil dan midiriasis dengan ukuran >5 mm), bentuk pupil, kesamaan ukuran antara kedua pupil (isikor / sama, aanisokor / tidak sama), dan reak pupil terhadap cahaya (positif bila tampak kontraksi pupil, negative bila tidak ada kontraksi pupil. Dilihat juga apakah terdapat perdarahan pupil (diperiksa dengan funduskopi).
5. Nervus Trigeminus/N V (motorik dan sensorik)
Merupakan syaraf yang mempersarafi sensoris wajah dan otot pengunyah . Alat yang digunakan : kapas, jarum, botol berisi air panas, kuliper/jangka dan garpu penala.
Sensibilitas wajah.
Rasa raba : pemeriksaan dilakukan dengan kapas yang digulung memanjang, dengan menyentuhkan kapas kewajah pasien dimulai dari area normal ke area dengan kelainan.
Bandingkan rasa raba pasien antara wajah kiri dan kanan.
Rasa nyeri : dengan menggunakan tusukan jarum tajam dan tumpul. Tanyakan pada klien apakah merasakan rasa tajam dan tumpul. Dimulai dari area normal ke area dengan kelainan.
Rasa suhu : dengan cara yang sama tapi dengan menggunakan botol berisi air dingin dan air panas, diuji dengan bergantian (panas-dingin). Pasien disuruh meyebutkan panas atau dingin yang dirasakan
Rsa sikap : dilakukan dengan menutup kedua mata pasien, pasien diminta menyebutkan area wajah yang disentuh (atas atau bawah)
Rasa gelar : pasien disuruh membedakan ada atau tidak getaran garpu penala yang dientuhkan ke wajah pasien.
a. Otot mengyunyah
Cara periksaan : pasien disuruh mengatup mulut kuat-kuat kemudian dipalpasi kedua otot pengunyah (muskulus maseter dan temporalis) apakah kontraksinya baik, kurang atau tidak ada. Kemudian dilihat apakah posis mulut klier. Simetris atau tidak, mulut miring.
6. Nervus Abdusens/N VI (motorik)
Fungsi otot bola mata dinilai dengan keenam arah utama yaitu lateral. Lateral atas, medial atas, medial bawah, lateral bawah, keatas dan kebawah. Pasien disuruh mengikuti arah pemeriksaan yang dilakukan pemeriksa sesuai dengan keenam arah tersebut. Normal bila pasien dapat mengikuti arah dengan baik. Terbatas bila pasien tidak dapat mengikuti dengan baik karena kelemahan otot mata, ninstagmus bila gerakan bola mata pasien bolak balik involunter.
7. Nervus Fasialis/N VII (motorik dan sensorik)
Cara pemeriksaan : dengan memberikan sedikit berbagai zat di 2/3 lidah bagian depan seperti gula, garam dan kina. Pasien disuruh menjulurkan lidah pada waktu diuji dan selama menentukan zat-zat yang dirasakan klien disebutkan atau ditulis dikertas oleh klien.
8. Nervus Akustikus/N VIII (sensorik)
  1. Pendengaran : diuji dengan mendekatkan, arloji ketelinga pasien di ruang yang disunyi. Telinga diuji bergantian dengan menutup salah telinga yang lain. Normal klien dapat mendengar detik arloji 1 meter. Bila jaraknya kurang dari satu meter kemungkinan pasien mengalami penurunan pendengaran.
  2. Keseimbangan : dilakukan dengan memperhatikan apakah klien kehilangan keseimbangan hingga tubuh bergoyang-goyang (keseimbangan menurun) dan normal bila pasien dapat berdiri/berjalan dengan seimbang.
9. Nervus Glosso-faringeus/N IX (motorik dan sensorik)
Cara pemeriksaan dengan menyentuhkan tongs patel keposterior faring pasien. Timbulnya reflek muntah adalah normal (positif), negative bila tidak ada reflek muntah.
10. Nervus Vagus/N X (motorik dan sensorik)
Cara pemeriksaan : pasien disuruh membuka mulut lebar-lebar dan disuruh berkata ‘aaah’ kemudian dilihat apakah terjadi regurgitasi kehidung. Dan observasi denyut jantung klien apakah ada takikardi atau brakardi.
11. Nervus Aksesorius/N XI (motorik)
Cara pemeriksaan : dengan menyuruh pasien menengok kesatu sisi melawan tangan pemeriksa sedang mempalpasi otot wajah Test angkat bahu dengan pemeriksa menekan bahu pasien ke bawah dan pasien berusaha mengangkat bahu ke atas. Normal bila klien dapat melakukannya dengan baik, bila tidak dapat kemungkinan klien mengalami parase.
12. Nervus Hipglosus (motorik)
Cara pemeriksaan : pasien disuruh menjulurkan lidah dak menarik lidah kembali, dilakukan berulang kali. Normal bila gerakan lidah terkoordinasi dengan baik, parese/miring bila terdapat lesi pada hipoglosus.
Ø Sensibilitas.
Syarat pemeriksaan : pasien harus sadar dan kooperatif, perlu diterangkan kepada pasien maksud, cara dan respon yang diharapkan dan dilakukan dengan rileks.
Alat pemeriksaan : kapas, jarum, botol berisi air dingin dan air panas, garpu penala dan kaliper/jangka.
Sensibilitas permukaan dan dalam :
Rasa raba, rasa nyeri dan rasa suhu, rasa getar rasa sikap, cara pemeriksaanya sama dengan cara pemeriksaan sensibilitas wajah di atas. Hanya dilakukan pada seluruh tubuh dari kepala sampai ujung jari.
Ø Koordinasi
a. Test hidung-jari hidung
Dilakukan dengan cara : pasien dengan menggunakan jari telunjuknya menyentuhkan jari telunjuk tersebut kejari pemeriksa kemudian kehidung pasien sendiri. Dilakukan berulang kali.
b. Test jari-hidung
Dilakukan dengan cara pasien menyentuh hidung dengan kelima jarring secara bergantian.
c. Test pronasi-supinasi
Dilakukan dengan cara pasien mengubah posisi telapak tangannya dengan cepat dengan posisi dan supinasi.
Ø Status Motorik
Diobservasi bentuk otot pasien apakah ada perubahan bentuk otot normal, membesar/hipertrofi mengecil/hipotrofi. Dinilai semua otot tubuh klien.
Tonus otot : diperiksa dengan cara pasien berbaring rileks, perhatiannya dialihkan dengan mengajak klien bicara sambil pemeriksa mngengkat lengan klien dalam posisi fleksi pada siku dan tangan secara pasif, kemudian menjauhkan lengan tersebut. Cara jatuh lengan dinilai. Hipotoni bila anggota gerak jatuh dengan berat, atau tonus otot meninggi/hipertoni/spatik. Pemeriksaan ini dilakukan juga pada tungkai dengan mengangkat tungkai fleksi pada tanggal kemudian dijatuhkan.
Kekuatan otot : Untuk memeriksa kekuatan otot sebaiknya dilakukan satu arah pada sendi dan otot langsung dinilai.
Kekuatan otot dinilai dengan derajat :
Derajat 5 : Kekuatan normal
Seluruh gerakan dapat dilakukan otot tersebut dengan tahan maksimal dari pemeriksa yang dilakukan berulang-ulang tanpa terlihat kelelahan.
Derajat 4 : Seluruh gerakan otot dapat dilakukan melayang gaya berat dan juga melawan tahanan ringan dan sedang dari pemeriksa.
Derajat 3 : Seluruh gerakan otot dapat dilakukan melawan gaya berat, tetapi tidak tidak dapat melawan tahanan ringan dan sedang dari pemeriksa.
Derajat 2 : Otot hanya dapat bergerak bila gaya berat dihilangkan.
Derajat 1 : Kontraksi otot minimal dapat terasa atau teraba pada otot bersangkutan tanpa mengakibatkan gerak
Derajat 0 : Tidak ada kontraksi sama sekali. Parlise total
Kekuatan gerak yang diperiksa : keempat anggota gerak
a. Anggota gerak atas : artikulasi humeri, artikulasi kubiti, artikulasimanus dan artikulasi metakarpoflank.
b. Anggota gerak bawah : artkulasi kokse, artikulasi genus, artikulasi manus dan artikulasi metaka pofalank.
Gaya berjalan : diobservasi dengan menyuruh pasien berjalan mondar- mandir.
Langkah normal : pasien berjalan dengan gaya biasa orang sehat.
Langkah : pasien berjalan dengan mengangkat kaki tinggi-tinggi supaya jari kaki yang masih tertinggal menyentuh tanah dapat terangkat. Kemudian kaki seolah-olah dijatuhkan ketanah dengan jari lebih dulu menyentuh tanah sebelum tumit.
Langkah mabuk : pasien berjalan dengan kedua kakinya terpisah jauh dan waktu, harus berjalan lurus ada kecenderungan terhuyung kesatu sisi.
Langkah menggeser : Pasien berjalan dengan langkah pendek-pendek, menyeret tanah hampir-hampir kaki tidak terlepas dari tanah. Bila langkah makin pendek dan cepat pasien cenderung jatuh.
Langkah spastik : biasanya terjadi pada hemipare, pasien berjalan dengan tungkai yang parase dilempar keluar membentuk lingkaran dengan jari kaki tetap menyentuh tanah.
Gerakan tubuh : diobservasi apakah normal, tremor/gematar, spasme (adanya ketegangan otot sehingga gerakan terbatas) atau gerakan tubuh berulang tanpa kendali.
Ø Refleks
Refleks merupakan jawaban motorik dari rangsangan sensorik.
Nilai refleks :
1. Arefleksi merupakan jawaban motorik dari rangsangan sensorik.
2. Hiporefleksi berarti ada kontraksi otot tetapi tidak terjadi gerakan pada sendinya, refleks = +
3. Refleksi normal = +
4. Hiperefleksi bila kontaksi dan gerakan sendi berlebihan, refleks = + +
1. Refleks Tendon
a. Refleksi biseps
Dalam keadaan duduk : lengan bawah dalam pronasi rileks di atas paha
Dalam keadaan berbaring : lengan ditaruh di atas bantal, lengan bawah dan tangan di atas abdomen. Taruh ibu jari pemeriksa di atas tendon biseps, tekan bila perlu untuk meyakinkan regang otot optimal, sebelum mengetok.
b. Refleks brakioradialis
Posisi sama dengan refleks biseps. Kecuali lengan bawah harus berada antara pronasi dan supinasi. Ketok dengan sambil mengamati dan merasakan adanya kontraksi.
c. Refleks triceps
Posisi hampir sama dengan refleks biseps. Oleh karena tendon pendek, kadang-kadang sukar mengetok sejumlah seribu : sekaligus. Sebaiknya pemeriksa melakukan dari arah samping belakang pasien untuk memeriksa kontraksi. Ketokan dilakukan 5 cm di atas siku.
d. Refleks Lutut / Patela
Dalam posisi duduk : kaki tergantung dan rileks.
Dalam posisi berbaring : tangan atau lengan bawah pemeriksa ditaruh. Di bawah lutut pasien, refleksi sendi lutut kira-kira 20 derajat, sedangkan tumit pasien harus tetap berada di atas tempat tidur. Bila perlu tangan pemeriksa diganti bantal supaya kontraksi otot disamping terlihat dapat diraba pula.
Palu refleks diketokan di atas tendon lutut berganti-ganti kanan dan kiri.
e. Refleks archilles
Dalam posisi duduk : sama dengan posisi refleks biseps, kaki dorsoflrkdi optimal untuk mendapatkan regangan otot cukup.
Dalam posisi berbaring : dilakukan fleksi panggul dan lutut sambil sedikit rotasi paha keluar ketok tendon tumit/archilles dengan palu refleks.
Respon refleks tendon normal :
Refleks biseps : respon normal berupa fkleksi dari siku dan tampak kontraksi otot biseps
Refleks triseps : ekstensi dari siku dan tampak kontraksi otot triseps
Refleks lutut : gerakan dari tungkai disertai kontraksi otot gastrokmius.
2. Refleks patologik
a. Refleks Babinski
Dengan sebuah benda yang berujung agak tajam, telapak kaki digores dari tumit menyusur bagian lateral menuju pangkal ibu jari. Positif bila terjadi dari ibu jari dan biasnya disertai dengan pemekaran jari-jari kaki.
b. Refleks Chaddok
Tanda babinski timbul dengan menggoreskan bagian bawah dari maleous lateral kearah depan.
c. Reflek Oppenheim
Dengan mengurut tulang tibia dengan ibu jari, jari telunjuk dan jari tengah mulai dari lutut tengah mulai dari lutut menyusur ke bawah. Positif bila timbul tanda babinski.
d. Refleks Gordon
Otot gastrokmius/betis ditekan. Positif bila timbul tanda babinski.
Ø Fungsi Luhur
a. Kesadaran
Coma : keadaan tidak sadar yang terendah. Tidak ada respon terhadap rangsangan nyeri, refleks tendon, refleks pupil dan refleks batuk menghilang, inkontinensia urin dan tidak ada aktivitas motorik spontan.
Soporocoma : keadaan tidak sadar menyerupai koma, tetapi respon terhadap rangsangan nyeri masih ada,refleks tendon dapat ditimbulkan. Biasanya masih ada inkontinensia urin dan
belum ada gerakan motorik spontan.
Delirium : keadaan kacau motorik yang sangat, memberontak,
berteriak-teriak dan tidak sadar terhadap orang lain,
tempat dan waktu.
Somnolen/letargi : pasien dapat dibangunkan dengan rangsangan dan akan membuat respon motorik dan verbal yang layak. Pasien akan cepat tertidur lagi bila rangsangan dihentikan.
Apatis : pasien tampak segan berhubungan dengan sekitarnya, tampak acuh tak acuh.
Compos Mentis : sadar sepenuhnya, dapat menjawab pertanyaan tentang
keadaan sekelilingnya.
Selain cara seperti tersebut diatas, dapat juga digunakan GCS (Glasgow Coma Scale), yang dinilai yaitu :
- Eye/membuka mata (E) :
4 = dapat membuka mata spontan
3 = membuka mata dengan dipanggil/atas perintah
2 = membuka mata bila dirangsang nyeri
1 = selalu tertutup walaupun dirangsang nyeri
- Motorik (M) :
6 = dapat bergerak sesuai perintah
5 = dapat bereaksi menyingkirkan rangsangan nyeri/reaksi setempat
4 = bereaksi fleksi siku pada rangsangan nyeri/menghindar
3 = dengan rangsangan nyeri dapat bereaksi fleksi pada pergelangan tangan atau jari atau fleksi spastic pada tungkai atau abduksi lengan atas/fleksi
abnormal
2 = respon ekstensi
1 = tidak bereaksi
- Verbal/bicara (V) :
5 = orientasi baik : orang, tempat, waktu
4 = jawaban kacau
3 = kata-kata tak berarti
2= suara tidak komprehensif
1 = tidak ada suara
b. Reaksi emosi
Dinilai apakah pasien tampak tegang, depresi, cemas, rasa bermusuhan atau emosi uang tidak terkontrol.
c. Fungsi intelektual
Memori : pasien dapat mengingat kembali pengalaman yang dialami
Berhitung : pasien dapat melakukan berhitung pertambahan, pengurangan, perkalian dan pembagian.
Persamaan : pasien diminta menjelaskan persamaan benda/keaadaan, misal raja dengan kaisar atau presiden
Pendapat : diminta pendapat pasien tentang beberapa pasien tentang beberapa persoalan yang ada di lingkungannya.
Pengertian : pasien disuruh membaca suatu serita kemudian dapat menjelaskan kembali isi cerita tersebut.
d. Proses pikir
Proses pikir ini dinilai dari jawaban-jawaban pasien dari pertanyaan pemeriksa tentang hal-hal di atas. Kemudian disimpulkan apakah isi pikiran pasien masih baik, kurang atau kelainan.
e. Fungsi psikomotor
Pasien dapat melakukan perintah dengan baik tau terganggu/menurun.
f. Fungsi ekspresif
Yang dinilai adalah : pasien mampu mengulang kata, kalimat dengan baik, mampu mengucapkan nama hari, bulan, nama benda, gambar dan dapat memahami hubungan pengertian dan perkataan missal : ditanyakan ‘dengan apa kita makan nasi’ dan jawaban pasien yang diharapkan adalah ‘kita makan nasi dengan sendok garpu’
g. Kemampuan baca tulis
Pasien mampu membaca dalam hati dan menuliskan kembali apa yang telah dibacanya. Pasien mampu membaca dengan suara keras dan menerang arti kalimat, pasien mampu menyalin kata dan kalimat yang diminta pemeriksa, dapat menulis identitasnya dan melakukan dikte.
Derajat afasia
Derajat 0 : afasia global yaitu pasien tidak dapat bicara ataupun mengerti pembicaraan sama sekali.
Derajat 1 : pembicaraan mengenai soal yang mudah dapat dilakukan dengan bantuan pemeriksa.
Derajat 2 : pembicaraan mengenai soal yang mudah dapat dilakukan dengan bantuan pemeriksa
Derajat 3 : pasien dapat membicarakan persoalan sehari-hari dengan sedikit/tanpa bantuan pemeriksa.
Derajat 4 : pasien tampak sukar dalam berbicara tetapi tidak mempengaruhi isi dan pikiran yang dikemukakan.
Derajat 5 : kesukaran bicara tidak tampak nyata, tetapi subyektif pasien mengalami kesukaran.