Thursday 9 May 2013

asuhan keperawatan cidera kepala


CIDERA KEPALA

A.      PENGERTIAN
Cidera kepala adalah cidera yang disebabkan adanya benturan pada kepala atau akselerasi-deselerasi yang tiba-tiba dari otak di dalam rongga tengkorak. Adanya gangguan fungsi saraf yang terjadi segera. Gangguan fungsi saraf ini secara klinis dapat berwujud berbagi macam bentuk, namun kehilangan kesadaran sering kai merupakan gambaran utama.
Kasus cidera kepala adalah:
a.       Adanya riwayat benturan pada kepala
b.      Laserasi kulit kepala atau dahi
c.       Penurunan kesadaran walaupun singkat

B.       MEKANISME CIDERA KEPALA
Berdasarkan besarnya gaya dan lamanya gaya yang bekerja pada kepala maka mekanisme terjadinya cidera kepala tumpul dapat dibagi menjadi 2:
- Static loading
- Dynamic loading
- Lesi impact
- Lesi akselerasi-deselerasi

Static loading
Gaya langsung bekerja pada kepala, lamanya gaya yang bekerja lambat, lebih dari 200 milidetik, mekanisme static loading ini jarang terjadi, tetapi kerusakan yang dihasilkan sangat berat mulai dari cidera pada kulit kepala sampai kerusakan tulang kepala, jaringan otak dan pembuluh darah otak.

Dynamic loading
Gaya mengenai kepala terjadi secara cepat (kurang dari 50 milidetik), gaya yang bekerja pada kepala dapat secara langsung (Impact injury) ataupun gaya tersebut bekerja tidak langsung (Accelerated-decelerated injury), mekanisme cidera kepala dynamic loading ini paling sering terjadi.


Impact injury
Gaya langsung bekerja pada kepala, gaya yang terjadi akan diteruskan kesegala arah, jika mengenai jaringan lunak akan diserap sebagian dan sebagian yang lain akan diteruskan sedangkan jika mengenai jaringan yang keras akan dipantulkan kembali. Gaya impact ini dapat juga menyebabkan lesi akselerasi-deselerasi. Akibat dari impact injury akan menimbulkan lesi:
Cidera pada kulit kepala (SCALP):
- Vulnus apertum
- Excoriasi
- Hematom
Cidera pada tulang atap kepala:

- Fraktur linier
- Fraktur diastase
- Fraktur steallete
- Fraktur depresi
- Fraktur basis kranii.

Hematom intrakranial:

- Hematom epidural
- Hematom subdural
- Hematom intraserebral
- Hematom intraventrikular

Kontusio serebri:
- Contra coup kontusio
- Coup kontusio
- Laserasi serebri
Lesi diffuse:
- Komosio serebri
- Diffuse axonal injury (DAI)

Lesi akselerasi - deselerasi
Gaya tidak langsung bekerja pada kepala tetapi mengenai bagian tubuh yang lain tetapi kepala tetap ikut terkena gaya. Oleh karena adanya perbedaan densitas antara tulang kepala dengan densitas yang tinggi dan jaringan otak dengan densitas yang lebih rendah, maka jika terjadi gaya tidak langsung maka tulang kepala akan bergerak lebih dahulu sedangkan jaringan otak dan isinya tetap berhenti, sehingga pada saat tulang kepala berhenti bergerak maka jaringan otak mulai bergerak dan oleh karena pada dasar tengkorak terdapat tonjolan-tonjolan maka akan terjadi gesekan antara jaringan otak dan tonjolan tulang kepala tersebut akibatnya terjadi lesi intrakranial berupa:
- Hematom subdural
- Hematom intraserebral
- Hematom intraventrikel
- Contra coup kontusio
selain itu gaya akselerasi dan deselerasi akan menyebabkan gaya tarikan ataupun robekan yang menyebabkan lesi diffuse berupa:
- Komosio serebri
- Diffuse axonal injury

C.      CIDERA OTAK PRIMER
Cidera otak primer adalah cidera otak yang terjadi segera cidera kepala baik akibat impact injury maupun akibat gaya akselerasi-deselerasi, cidera otak primer ini dapat berlanjut menjadi cidera otak sekunder, jika cidera primer tidak mendapat penanganan yang baik, maka cidera primer dapat menjadi cidera sekunder.

1.      Cidera pada SCALP
Fungsi utama dari lapisan kulit kepala dengan rambutnya adalah melindugi jaringan otak dengan cara menyerap sebagian gaya yang akan diteruskan melewati jaringan otak. SCALP merupakan singkatan dari Skin, subCutan, Aponeurosis galea, Loose arerolar, Periosteum. Cidera pada scalp dapat berupa:
- Eskoriasi.
- Vulnus apertum.
- Hematom subcutan
- Hematom subgaleal
- Hematom subperiosteal.
Pada eskoriasi dapat dilakukan wound toilet, yakni mencuci luka serta menghilangkan jaringan yang sudah tidak berfungsi maupun benda asing, sedangkan pada vulnus apertum harus dilihat jika vulnus tersebut sampai mengenai galea aponeurotika maka galea harus dijahit (untuk menghindari dead space antara periosteum dan subcutis sedangkan didaerah subcutan banyak mengandung pembuluh darah, demikian juga rambut banyak mengandung kuman sehingga adanya hematom dan kuman menyebabkan terjadinya infeksi sampai terbentuknya abses).
Penjahitan pada galea memakai benang yang dapat diabsorbsi dalam jangka waktu lama (tetapi kalau tidak ada dapat dijahit dengan benang nonabsorbsable tetapi dengan simpul yang terbalik, untuk menghindari terjadinya "druck necrosis/nekrosis akibat penekanan , pada kasus terjadinya excoriasi yang luas dan kotor hendaknya diberikan injeksi anti tetanus.
Pada kasus dengan hematom subcutan sampai hematom subperiosteum dapat dilakukan bebat tekan kemudian diberikan analgesia, jika selama 2 minggu hematom tidak diabsorbsi dapat dilakukan punksi steril, Pada bayi dan anak –anak dimana hematom yang lebih dari 2minggu tidak dapat diserap, harus dipikirkan terjadinya fraktur kalvaria. Hati-hati cidera scalp pada anak-anak/bayi karena perdarahan begitu banyak dapat terjadinya shok hipovolumik.

2.      Fraktur linier kalvaria
Fraktur linier pada kalvaria dapat terjadi jika gaya langsung yang bekerja pada tulang kepala cukup besar tetapi tidak menyebabkan tulang kepala bending dan terjadi fragmen fraktur yang masuk kedalam rongga intrakranial, tidak ada terapi khusus pada fraktur linier ini tetapi karena gaya yang menyebabkan terjadinya fraktur tersebut cukup besar maka kemungkinan terjadinya hematom intrakranial cukup besar, dari penelitian di RS. Dr. Sotomo Surabaya didapatkan 88% epidural hematom disertai dengan fraaaktur linier kalvaria.Jika gambaran fraktur tersebut kesegala arah disebut "Steallete fracture", jika fraktur mengenai sutura disebut diastase fraktur.

3.      Fraktur depresi
Secara definisi yang disebut fraktur depresi apabila fragmen dari fraktur masuk rongga intrakranial minimal setebal tulang fragmen tersebut, berdasarkan pernah tidaknya fragmen fraktur berhubungan dengan udara luar maka fraktur depresi dibagi 2 yaitu : fraktur depresi tertutup dan fraktur depresi terbuka.
3.a. Fraktur depresi tertutup
Pada fraktur depresi tertutup biasanya tidak dilakukan tindakan operatip kecuali bila fraktur tersebut menyebabkan:
1. Gangguan neurologis, misal kejang-kejang, hemiparese/plegi, penurunan kesadaran
2. Secara kosmetik jelek misal : fraktur depresi didaerah frontal yang berhubungan dengan pekerjaannya.
Tindakan yang dilakukan adalah mengangkat fragmen tulang yang menyebabkan penekanan pada jaringan otak.setelahnya mengembalikan dengan fiksasi pada tulang disebelahnya, sedangkan fraktur depresi didaerah temporal tanpa disertai adanya gangguan neurologis tidak perlu dilakukan operasi.
3.b. Fraktur depresi terbuka
Semua fraktur epresi terbuka harus dilakukan tindakan operatif debridemant untuk mencegah terjadinya proses infeksi (meningoencephalitis) Yaitu mengangkat fragmen yang masuk, membuang jaringan yang devitalized seperti jaringan nekrosis benda-benda asing, evakuasi hematom, kemudian menjahit duramater secara "water tight"/kedap air kemudian fragmen tulang dapat dikembalikan atau pun dibuang, fragmen tulang dikembalikan jika :
- Tidak melebihi golden periode (24 jam)
- Duramater tidak tegang.
Jika fragmen tulang berupa potongan-potongan kecil maka pengembalian tulang dapat secara mozaik.

4.      Fraktur Basis kranii
Secara anatomis ada perbedaan struktur didaerah basis kranii dan kalvaria yaitu:
- Pada basis kranii tulangnya lebih tipis dibandingkan tulang daerah kalvaria.
- Duramater daerah basis kranii lebih tipis dibandingkan daerah kalvaria
- Duramater daerah basis lebih melekat erat pada tulang dibandingkan daerah kalvaria
Sehingga bila terjadi fraktur daerah basis mengakibatkan robekan duramater
Klinis ditandai dengan:
- Bloody otorrhea.
- Bloody rhinorrhea
- Liquorrhea
- Brill Hematom
- Batle's sign
- Lesi nervus cranialis yang paling sering N I, NVII, dan N VIII
Diagnose fraktur basis kranii secara klinis lebih bermakna dibandingkan dengan diagnose secara radiologis oleh karena:
- Foto basis cranii posisinya hanging Foto , dimana posisi ini sangat berbahaya tertutama pada cidera kepala disertai dengan cidera vertebra cervikal ataupun pada cidera kepala dengan gangguan kesadaran yang dapat menyebabkan gangguan pernafasan
- Adanya gambaran fraktur pada foto basis kranii tidak akan merubah penatalaksanaan dari fraktur basis kranii.
- Pemborosan biaya perawatan karena penambahan biaya foto basis kranii.
Penanganan dari fraktur basis kranii meliputi:
- Cegah peningkatan tekanan intrakranial yang mendadak, misal cegah batuk, mengejan, makanan yang tidak menyebabkan sembelit.
- Jaga kebersihan sekitar lubang hidung dan lubang telinga, jika perlu dilakukan tampon steril (Consul ahli THT) pada tanda bloody otorrhea/ otoliquorrhea,
- Pada penderita dengan tanda-tanda bloody otorrhea /otoliquorrhea penderita tidur dengan posisi terlentang dan kepala miring keposisi yang sehat.
- Pemberian antibiotika profilaksis untuk mencegah terjadinya meningoensefalitis masih kontroversial, di SMF Bedah Saraf RSU Dr. Soetomo kami tetap memberikan antibiotika profilaksis dengan alasan penderita fraktur basis kranii dirawat bukan diruangan steril / ICU tetapi di ruang bangsal perawatan biasa dengan catatan pemberian kami batasi sampai bloody rhinorrhea/otorrhea berhenti.
Komplikasi yang paling sering terjadi dari fraktur basis kranii meliputi: - mengingoensefalitis
- abses serebri.
- Lesi nervii cranialis permanen
- Liquorrhea.
- CCF (Carotis cavernous fistula).

5.      Komosio serebri
Secara definisi komosio serebri adalah gangguan fungsi otak tanpa adanya kerusakan anatomi jaringan otak akibat adanya cidera kepala. Sedangkan secara klinis didapatkan penderita pernah atau sedang tidak sadar selama kurang dari 15 menit, disertai sakit kepala, pusing, mual-muntah adanya amnesi retrogrde ataupun antegrade. Pada pemeriksaan radiologis CT Scan : tidak didapatkan adanya kelainan.

6.      Kontusio serebri
Secara definisi kontusio serebri didefinisikan sebagai gangguan fungsi otak akibat adanya kerusakan jaringan otak, secara klinis didapatkan penderita pernah atau sedang tidak sadar selama lebih dari 15 menit atau didapatkan adanya kelaianan neurologis akibat kerusakan jaringan otak seperti hemiparese/plegi, aphasia disertai gejala mual-muntah, pusing sakit kepala, amnesia retrograde/antegrade, pada pemeriksaan CT Scan didapatkan daerah hiperdens di jaringan otak, sedangkan istilah laserasi serebri menunjukkan bahwa terjadi robekan membran pia-arachnoid pada daerah yang mengalami contusio serebri.yang gambaran pada CT Scan disebut "Pulp brain "

7.      Epidural hematom (EDH = Epidural hematom)
Epidural hematom adalah hematom yang terletak antara duramater dan tulang, biasanya sumber perdarahannya adalah robeknya :
- Arteri meningica media (paling sering)
- Vena diploica (oleh karena adanya fraktur kalvaria)
- Vena emmisaria.
- Sinus venosus duralis
Secara klinis ditandai dengan adanya penurunan kesadaran yang disertai lateralisasi (ada ketidaksamaan antara tanda-tanda neurologis sisi kiri dan kanan tubuh) yang dapat berupa :
- hemiparese/plegi
- pupil anisokor
- reflek patologis satu sisi
Adanya lateralisasi dan jejas pada kepala menunjukkan lokasi dari EDH. Pupil anisokor /dilatasi dan jejas pada kepala letaknya satu sisi/ipsilateral dengan lokasi EDH sedangkan Hemiparese/plegi letaknya kontralateral dengan lokasi EDH, sedangkan gejala adanya lucid interval bukan merupakan tanda pasti adanya EDH karena dapat terjadi pada perdarahan intrakranial yang lain, tetapi lucid interval dapat dipakai sebagai patokan dari prognosenya makin panjang lucid interval makin baik prognose penderita EDH (karena otak mempunyai kesempatan untuk melakukan kompensasi)
Pada pemeriksaan radiologis CT Scan didapatkan gambaran area hiperdens dengan bentuk bikonvek diantara 2 sutura,
Sedangkan indikasi operasi jika:
- Terjadinya penurunan kesadaran
- Adanya lateralisasi
- Nyeri kepala yang hebat dan menetap yang tidak hilang dengan pemberian anlgesia.
- Pada CT Scan jika perdarahan volumenya lebih dari 20 CC atau tebal lebih dari 1 CM atau dengan pergeseran garis tengah (midline shift) lebih dari 5 mm. Operasi yang dilakukan adalah evakuasi hematom, menghentikan sumberperdarahan sedangkan tulang kepala dapat dikembalikan jika saat operasi tidak didapatkan adanya edema serebri sebaliknya tulang tidak dikembalikan jika saat operasi didapatkan duramater yang tegang dan dapat disimpan subgalea.
Pada penderita yang dicurigai adanya EDH yang tidak memungkinkan dilakukan diagnose radiologis CT Scan maka dapat dilakukan diagnostik eksplorasi yaitu " Burr hole explorations " yaitu membuat lubang burr untuk mencari EDH biasanya dilakukan pada titik-titik tertentu yaitu (berurutan)
- pada tempat jejas/hematom
- pada garis fratur
- pada daerah temporal
- pada daerah frontal (2 CM didepan sutura coronaria)
- pada daerah parietal
- pada daerah occipital.
Prognose dari EDH biasanya baik, kecuali dengan GCS datang kurang dari 8, datang lebih dari 6 jam umur lebih dari 60 tahun

8.      Subdural hematom (SDH)
Secara definisi hematom subdural adalah hematom yang terletak dibawah lapisan duramater dengan sumber perdarahan dapat berasal dari :
- Bridging vein (paling sering)
- A/V cortical
- Sinus venosus duralis
Berdasarkan waktu terjadinya perdarahan maka subdural hematom dibagi 3 :
- Subdural hematom akut : terjadi kurang dari 3 hari dari kejadian
- Subdural hematom subakut: terjadi antara 3 hari – 3 minggu
- Subdural hematom kronis jika perdarahan terjadi lebih dari 3 minggu.
Secara klinis subdural hematom akut ditandai dengan penurunan kesadaran, disertai adanya lateralisasi yang paling sering berupa hemiparese/plegi.
Sedangkan pada pemeriksaan radiologis (CT Scan) didapatkan gambaran hiperdens yang berupa bulan sabit (cresent).
Indikasi operasi menurut EBIC (Europe brain injury commition) pada perdarahan subdural adalah :
- jika perdarahan tebalnya lebih dari 1 CM.
- Jika terdapat pergeseran garis tengah lebih dari 5mm.
Operasi yang dilakukan adalah evakuasi hematom, menghentikan sumer perdarahan oleh karena biasanya disertai dengan edema serebri biasanya tulang tidak dikembalikan (dekompresi) dan disimpan subgalea.
Prognose dari penderita SDH ditentukan dari GCS awal saat operasi, lamanya penderita datang sampai dilakukan operasi, lesi penyerta dijaringan otak serta usia penderita, pada penderita dengan GCS kurang dari 8 prognosenya 50 %, makin rendah GCS, makin jelek prognosenya makin tua penderita makin jelek prognosenya adanya lesi lain akan memperjelek prognosenya.

9.      Intracerebral hematom (ICH)
Perdarahan intracerebral adalah perdarahan yang terjadi pada jaringan otak biasanya akibat robekan pembuluh darah yang ada dalam jaringan otak. Secara klinis ditandai dengan adanya penurunan kesadaran yang kadang-kadang disertai lateralisasi, pada pemeriksaan CT scan didapatkan adanya daerah hiperdens yng disertai dengan edema disekitarnya (perifokal edema)
Indikasi dilakukan operasi jika:
- Single
- Diameter lebih dari 3 CM
- Perifer.
- Adanya pergeseran garis tengah
- Secara klinis hematom tersebut dapat menyebabkan gangguan neurologis /lateralisasi
Operasi yang dilakukan biasanya adalah evakuasi hematom disertai dekompresi dari tulang kepala. Faktor-faktor yang menentukan prognosenya hampir sama dengan faktor-faktor yang menentukan prognose perdarahan subdural.

10.  Diffuse axonal injury (DAI)
Secara definisi yang disebut diffuse axonal injury adalah koma lebih dari 6 jam yang pada pemeriksaan CT Scan tidak didapatkan kelainan (gambaran hiperdens), jadi yang dipakai sebagai golden standart diagnostic adalah CT Scan. Secara klinis DAI dibagi menjadi 3 gradasi:
DAI ringan : jika koma terjadi antara 6 – 24 jam.
DAI sedang: jika koma lebih dari 24 jam tanpa disertai tanda-tanda deserebrated decorticated.
DAI. Berat: Jika koma lebih dari 24 jam yang disertai tanda-tanda deserebrated / decorticated.
Sedangkan menurut WHO yang disebut koma jika GCS kurang dari 8.(Unopen eyes, unuterred words and unobey commands)
Pada kasus dengan DAI berat, biasanya prognosenya jelek.

D.      CIDERA OTAK SEKUNDER
Cidera otak yang terjadi akibat dari cidera otak primer yang tidak mendapat penanganan yang baik (sehingga terjadi hipoksia) serta adanya proses metabolisme dan neurotransmiter serta respon inflamasi pada jaringan otak maka cidera otak primer berubah menjadi cidera otak sekunder yang meliputi :
- Edema serebri
- Infark serebri
- Peningkatan tekanan intra kranial

Edema serebri
Adalah penambhan air pada jaringan otak/ sel-sel otak, pada kasus cidera kepala terdapat 2 macam edema serebri :
- Edema serebri vasogenik
- Edema serebri sitostatik
Edema serebri vasogenik
Edema serebri vasogenik terjadi jika terdapat robekan dari "blood brain barrier" (sawar darah otak) sehingga solut intravaskuler (plasma darah) ikut masuk dalam jaringan otak (ekstraseluler) dimana tekanan osmotik dari plasma darah ini lebih besar dari pada tekanan osmotik cairan intra selluler akibatnya terjadi reaksi osmotik dimana cairan intraselluler yang tekanan osmotiknya lebih rendah akan ditarik oleh cairan ekstra seluler keluar dari sel melewati membran sel sehingga terjadi edema ekstra seluler sedangkan sel-sel otak mengalami pengkosongan ("shringkage")

Edema serebri Sitostatik
Edema serebri sitostatik terjadi jika suplai oksigen kedalam jaringan otak berkurang (hipoksia) akibatnya terjadi reaksi anaerob dari jaringan otak (pada keadaan aerob maka metabolisme 1 mol glukose akan di ubah menjadi 38 ATP dan H2O) sedangkan dalam keadaan anaerob maka 1 molekul glukose akan diubah menjadi 2 ATP dan H2O karean kekurangan ATP maka tidak ada tenaga yang dapat digunakan untuk menjalankan proses pumpa Natrium Kalium untuk pertukaran kation dan anion antara intra selluler dan ekstraseluler dimana pada proses tersebut memerlukan ATP akibatnya Natrium (Na) yang seharusnya dipumpa keluar dari sel menjadi masuk kedalam sel bersamaan masuknya natrium, maka air (H2O) ikut masuk kedalam sel sehingga terjadi edema intra seluler
Gambaran CT Scan dari edema serebri :
- Ventrikel menyempit
- Cysterna basalis menghilang
- Sulcus menyempit sedangkan girus melebar
Terapi dari edema serebri
Secara prinsip terapi dari edema serebri adalah menghilangkan air yang ada dalam sel (intraseluler) ataupun air diluar sel (ekstraseluler) dengan cara:
- cairan hiperosmotik (manitol) dengan dosis 0,5 g – 1 g/Kg BB/kali diberikan secara bolus dalam waktu 15 – 20 menit., disamping sebagai cairan hiperosmolar maka manitol dengan dosis rendah berfungsi sebagai penangkap bahan radikal bebas dan dapat meningkatkan mikrosirkulasi dari sel-sel darah merah (rheologi), pemberian manitol selama 4 hari kemudian dilakukan tapering agar tidak terjadi "rebound phenomena".
- Kortikosteroid, obat ini dapat memperbaiki sawar darah otak sehingga secara tidak langsung memperbaiki edema serebri, tetapi obat ini tidak digunakan
pada kasus cidera kepala karena manfaatnya lebih sedikit dibandingkan dengan kerugiannya.Kortikiosteroid sangat bermanfaat untuk edema serebri yang disebabkan oleh tumor otak baik primer maupun metastase.
- Deuritika., biasanya yang digunakan furosemide

Tekanan intra kranial
Compartment rongga kepala orang dewasa rigid tidak dapat berkembang yang terisi 3 komponen yaitu :
- jaringan otak seberat 1200 gram
- cairan liquor serebrospinalis seberat 150 gram
- darah dan pembuluh darah seberat 150 gram
Menurut doktrin Monroe-Kellie, jumlah massa yang ada dalam rongga kepala adalah konstan jika terdapat penambahan massa (misal hematom, edema, tumor, abses) maka sebagian dari komponen tersebut mengalami kompensasi/bergeser, yang mula-mula mengalami kompensasi adalah cairan serebrospinalis yaitu pindah kedalam sisterna ataupun canalis centralis yang ada di medullaspinalis yang tampak pada klinis penderita mengalami kaku kuduk serta pinggang terasa sakit dan berat, jika kompensasi dari cairan serebrospinalis sudah terlampaui sedangkan penambahan massa masih terus berlangsung maka terkjadi kompensasi kedua yaitu kompensasi dari pembuluh darah dan isinya yang bertujuan untuk mengurangi isi rongga intrakranial dengan cara :
- Vaso konstriksi yang berakibat tekanan darah meningkat
- Denyut nadi menurun (bradikardia), yang merupakan tanda awal dari peningkatan tekanan intrakranial, kedua tanda ini jika disertai dengan gangguan pola nafas disebut "trias Cushing"
Jika kompensasi kedua komponen isi rongga intrakranial sudah terlampaui sedangkan penambahan massa masih terus berlangsung maka jaringan otak akan melakukan komponsasi yaitu berpindah ketempat yang kosong ("locus minoris") perpindahan jaringan otak tersebut disebut herniasi cerebri, ada beberapa macam:
- herniasi serebri subfalxine
- herniasi serebri "upward"
- herniasi serebri tentorial (lateral/uncus)
- herniasi serebri tentorial (central)
- herniasi tonsilar
Tanda-tanda klinis herniasi cerebri tergantung dari macamnya,. Pada umumya klinis dari peningkatan tekanan intrakranial adalah :
- Nyeri kepala.
- Mual, muntah
- Pupil bendung

"Sekunder insult"
Adalah kondisi penderita yang bertambah buruk akibat terjadinya cidera otak sekunder karena terjadinya kesalahan penanganan oleh tenaga medis/paramedis misal : - Saat transportasi tidak dipasang infus sehingga terjadi shock, ataupun tidak dilakukan penanganan airway sehingga terjadi hipoksia, sekunder insult dapat terjadi di dalam rumah sakit (paling sering) maupun saat diluar rumah sakit



E.       PENATALAKSANAAN
Penanganan pertama kasus cidera kepala di UGD
Pertolongan pertama dari penderita dengan cidera kepala mengikuti standart yang telah ditetapkan dalam ATLS (Advanced trauma life support) yang meliputi, anamnesa sampai pemeriksaan fisik secara seksama dan stimultan pemeriksaan fisik meliputi: - Airway
- Breathing
- Circulasi
- Disability
Pada pemeriksaan airway usahakan jalan nafas stabil, dengan cara :
- Kepla miring, buka mulut, bersihkan muntahan darah, adanya benda asing
- Perhatikan tulang leher, immobilisasi, cegah gerakan hiperekstensi, hiperfleksi atauipun rotasi.
- Semua penderita cidera kepala yang tidak sadar harus dianggap disertai cidera vertebrae cervikal sampai terbukti sebaliknya, maka perlu dipasang collar brace.
jika sudah stabil tentukan saturasi oksigen minimal saturasinya diatas 90 %, jika tidak usahakan untuk dilakukan intubasi dan suport pernafasan.
Setelah jalan nafas bebas sedapat mungkin pernafasannya diperhatikan frekwensinya normal antara 16 – 18 X/menit, dengarkan suara nafas bersih, jika tidak ada nafas lakukan nafas buatan, kalau bisa dilakukan monitor terhadap gas darah dan pertahankan PCO 2 antara 28 – 35 mmHg karena jika lebih dari 35 mm Hg akan terjadi vasodilatasi yang berakibat terjadinya edema serebri sedangkan jika kurang dari 20 mm Hg akan menyebabkan vaso konstriksi yang berakibat terjadinya iskemia., periksa tekanan oksigen (PO2) 100 mmHg jika kurang beri Oksigen masker 8 liter/ menit.
Pada pemeriksaan sistem sirkulasi :
- Periksa denyut nadi/jantung, jika (-) lakukan resusitasi jantung.
- Bila shock (tensi < 90 dan nadi > 100 atasi dengan infus cairan RL, cari sumber perdarahan ditempat lain, karena cidera kepala single pada orang dewasa hampir tidak pernah menimbulkan shock. Terjadinya shock pada cidera kepala meningkatkan angka kematian 2 X
- Hentikan perdarahan dari luka terbuka
Pada pemeriksaan disability / kelainan kesadaran:
- Periksa kesadaran : memakai Glasgow Coma Scale
- Periksa kedua pupil bentuk dan besarnya serta catat reaksi terhadap cahaya langsung maupun konsensual./tidak langsung
- Periksa adanya hemiparese/plegi
- Periksa adanya reflek patologis kanan kiri
- Jika penderita sadar baik tentukan adanya gangguan sensoris maupun fungsi luhur misal adanya aphasia
Setelah fungsi vital stabil (ABC stabil baru dilakukan survey yang lain dengan cara melakukan sekunder survey/ pemeriksaan tambahan seperti Skull foto, foto thorax, foto pelvis, CT Scan dan pemeriksaan tambahan yang lain seperti pemeriksaan darah (pemeriksaan ini sebenarnya dikerjakan secara stimultan dan seksama).
Glasgow Coma Scale (GCS)
Untuk mendapatkan keseragaman dari penilaian tingkat kesadaran secara kwantitatif (yang sebelumnya tingkat kesadaran diukur secara kwalitas seperti apatis, somnolen dimana pengukuran seperti ini didapatkan hasil yang tidak seragam antara satu pemeriksaan dengan pemeriksa yang lain) maka dilakukan pemeriksaan dengan skala kesadaran secara Glasgow, ada 3 macam indikator yang diperiksa yaitu:
1. Reaksi membuka mata
2. Reaksi verbal
3. Reaksi motorik
Berdasarkan GCS maka cidera kepala dapat dibagi menjadi 3 gradasi yaitu :
- Cidera kepala derajad ringan, bila GCS : 13 – 15.
- Cidera kepal derajad sedang, bila GCS: 9 – 12.
- Cidera kepala derajad berat, bila GCS kurang atau sama dengan 8
Pada penderita yang tidak dapat dilakukan pemeriksaan misal oleh karena aphasia, maka reaksi verbal diberi tanda "X", atau oleh karena kedua mata edema berat sehingga tidak dapat di nilai reaksi membuka matanya maka reaksi membuka mata diberi nilai "X", sedangkan jika penderita dilakukan tracheostomy ataupun dilakukan intubasi maka reaksi verbal diberi nilai " T "



Indikasi foto polos kepala
Tidak semua penderita dengan cidera kepala diindikasikan untuk pemeriksaan kepala karena masalah biaya dan kegunaannya yang sekarang makin ditinggalkan. Jadi indikasinya meliputi :
- Jejas lebih dari 5 Cm.
- Luka tembus (tembak/ tajam)
- Adanya corpus alineum
- Deformitas kepala (dari inspeksi dan palpasi)
- Nyeri kepala yang menetap
- Gejala fokal neurologis
- Gangguan kesadaran (GCS < 15)

Perawatan di rumah sakit
1. GCS 13 – 15
- Infus dengan cairan normoosmotik (kecuali Dextrose oleh karena dextrose cepat dimetabolisme menjadi H2O + CO2 sehingga dapat menimbulkan edema serebri) Di RS Dr Soetomo Surabaya digunakan D5% 1/2 salin kira-kira 1500 – 2000 cc/24 jam untuk orang dewasa
- Diberikan analgesia/antimuntah secara intravena, jika penderita tetap muntah harus dipuasakan selama 6 jam, jika tidak muntah dicoba minum sedikit-sedikit (Pada penderita yang tetap sadar)
- Mobilisasi dilakukan sedini mungkin, dimulai dengan memberikan bantal selama 6 jam kemudian setengah duduk pada 12 jam kemudian kemudian duduk penuh dan dilatih berdiri (dapat dilakukan pada penderita dengan GCS 15)
- Jika memungkinkan dapat diberikan obat neurotropik,seperti : Citicholine, dengan dosis 3 X 250 mg/hari sampai minimal 5 hari
- Minimal penderita MRS selam 2 X 24 jam karena komplikasi dini dari cidera kepala paling sering terjadi 6 jam setelah cidera dan berangsur-angsur berkurang sampai 48 jam pertama

2. GCS < 13
- Posisi terlentang kepala miring kekiri dengan diberi bantal tipis (head up 15 – 300) hal ini untuk memperbaiki venous return sehingga tekanan intra kranial turun.
- Beri masker Oksigen 6 – 8 liter/menit
- Atasi hipotensi, usahakan tekanan sistolok diatas 100mmHg, jika tidak ada perbaikan dapat diberikan vasopressor.
- Pasang infus D5% 1/2 saline 1500 – 2000 cc/24 jam atau 25 – 30 CC/KgBB /24 jam
- Pada penderita dengan GCS < 9 atau diperkirakan akan memerlukan perawatan yang lebih lama maka hendaknya dipasang maagslang ukuran kecil (12 Fr) untuk memberikan makanan, yang dimulai pada hari I dihubungkan dengan 500 CC Dextrose 5% gunanya pemberian sedini mungkin adalah untuk menghindari atrophi villi usus, menetralisasikan asam lambung yang biasanya sangat tinggi pH nya (stress ulcer), menambah energi yang tetap dibutuhkan sehingga tidak terjadi metabolisme yang negatip, pemberian makanan melalui pipa lambung ini akan ditingkatkan secara perlahan-lahan samai didapatkan volume 2000 CC/ 24 jam dengan kalori 2000 Kkal., keuntungan lain dari pemberian makanan peroral lebih cepat pada penderita tidak sadar antara laian :
- Mengurangi translokasi kuman di dinding usus halus dan usus besar
- Mencegah normal flora usus masuk kedalam system portal
- Sedini mungkin penderita dilakukan mobilisasi untuk menghindari terjadinya statik pneumonia atau dekubitus dengan cara melakukan miring kekiri kan kanan setiap 2 jam
- Pada penderita yang gelisah harus dicari dulu penyebabnya tidak boleh langsung diberikan obat penenang seperti diazepam karena dapat menyebabkan masking efek terhadap kesadarannya dan terjadinya depresi pernafasan. Pada penderita gelisah dapat terjadi karena:
- Nyeri OK :- fraktur
- kandung seni yang penuh
- tempat tidur yang kotor

F.       DIAGNOSA KEPPERAWATAN YANG MUNGKIN MUNCUL
1.      Gangguan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan kerusakan aliran darah otak sekunder edema, serebri.
2.      Tidak efektifnya pola napas berhubungan dengan kerusakan neuromuskular, kontrol mekanisme ventilasi, komplikasi pada paru-paru
3.      Resiko deficit volume cairan berhubungan dengan terapi diuretic, pembatasan cairan.
4.      Resiko injuri sehubungan dengan kerusakan persepsi sensori, gelisah, gangguan fungsi motorik, kejang
5.      Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan penurunan neuromuskuler, terapi bedrest, immobilisasi.

No
Diagnosa
Tujuan
Intervensi
Rasional
1
Gangguan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan kerusakan aliran darah otak sekunder edema, serebri.
a. Tingkat kesadaran kompos mentis : orientasi orang, tempat dan memori baik.
b. Tekanan perfusi serebral >60 mmHg, tekanan intrakranial < 15 mmHg.
c. Fungsi senssori utuh / normal.
1. Kaji tingkat kesadaran dengan GCS


2. Kaji pupil, ukuran, respon terhadap cahaya, gerakan mata
3. Kaji refleks kornea dan refleks


4. Evaluasi keadaan motorik dan sensori pasien


5. Monitor tanda vital setiap 1 jam



6.Observasi adanya edema periorbita ekimosis diatas osmatoid,rhinorrhea, otorrhea.
7.      Pertahan kan kepala tempat tidur 30-45 derajat dengan posisi leher menekuk
8.      Anjurkan pasien untuk tidak menekuk lututnya / fleksi, batuk, bersin, feses yang keras
9.Pertahankaan suhu normal



10.  Monitor kejang dan berikan obat antikejang



11.  Lakukan aktivitas keperawatan dan
aktivitas pasien seminimal mungkin.
12.Pertahankan kepatenan jalan napas, suction jika perlu, berikan oksigen 100 % sebelum suction dan suction tidak lebih dari 15 detik.
13.  Monitor AGD, PaCO2 antara35-45 mmHg dan PaCO2 >80 mmHg




14.  Berikan obat sesuai program dan monitor efek samping.
1. Tingkat kesadaran merupakan indikator terbaik adanya perubahan neurologi
2. Mengetahui fungsi N I,II dan III

3. Menurunnya refleks kornea dan refleks indikasi kerusakan pada batang otak
4.Gangguan motorik dan sensori dapat terjadi akibat edema otak.
5.Adanya perubahan tanda vital seperi respirasi menunjukkan kerusakan pada batang otak
6. Indikasi adanya fraktur basilar

7. Memfasilitasi drainasi vena dari otak\



8.Dapat meningkatkan tekanan intrakranial


9.Suhu tubuh yang meningkatkan akan meningkatkan aliran darah ke otak sehingga meningkatkan TIK
10.  Kejang dapat terjadi akibat iritasi serebral dan keadaan kejang memerlukan banyak oksigen
11.Meminimalkan stimulus sehingga menurunkan TIK

12.Mempertahankan adekuatnya oksigen, suction dapat meningkatkan TIK


13.Karbondioksida menimbulkan vasodilatasim adekuatnya oksigen sangat penting dalam mempertahankan metabolisme otak.
14.  Mencegah komplikasi lebih dini
2
Tidak efektifnya pola napas berhubungan dengan kerusakan neuromuskular, kontrol mekanisme ventilasi, komplikasi pada paru-paru.
1)      Pasien dapat  menunjukkan pola napas yang efektif: frekwensi < 20/ menit, irama dan keadaan normal.
2)      Fungsi paru-paru normal: tidak volume > 7-10 ml/kg, vital capacity > 12-15 ml/kg.
1.Kaji frekwensi napas, kedalaman, irama setiap 1-2 jam.




2.  Auskultasi bunyi napas setiap 1-2 jam



3.   Pertahankan kebersihan jalan napas, suction jika perlu, berikan oksigen  sebelum suction.
4.Berikan posisi semifowler.
5.      Monitor AGD


6.      Berikan oksigen sesuai program
1.   Pernapasan yang tidak teratur, seperti apnea,pernapasan cepat atau lambat kemungkinan adanya gangguan pada pusat pernapasan pada otak.
2.   Salah satu komplikasi cidera kepala adalah adanya gangguan pada paru-paru
3.      Mempertahankan adekuatnya suplai oksigen ke otak

4.  Memaksimalkan ekspansi paru
5.    Mempertahankan kadar PaO2 dan PaCO2 dalam batas normal.
6.      Meningkatkan suplay oksigen ke otak.
3
Resiko deficit volume cairan berhubungan dengan terapi diuretic, pembatasan cairan.
a.       Pasien dapat mempertahankan fungsi hemodinamik : tekanan darah systole dalam batas normal, denyut jantung teratur.
b.      Terjadi keseimabangan cairan dan elektrolit : berat badan stabil, intake dan output cairan seimbang, tidak terdapat tanda-tanda dehidrasi.
1.      Monitor intake dan output cairan.





2.      Monitor hasil laboratorium,  elektrolit, hemotokrit.
3.      Monitor tanda-tanda dehidrasi : banyak minum, kulit kering, turgor kulit kurang, kelemahan, berat badan yang menurun.
4.      Berikan cairan pengganti melalui oral atau parenteral.

1.      Mengetahui keseimbangan cairan, penanganan lebih dini. Jika output urine <30ml/jam, BJ urine > 1.025 indikasi kekurangan cairan.
2.      Hemotokrit yang meningkat berarti cairan lebih pekat.
3.      Indicator kekurangan cairan.



4.      Mengganti cairan yang hilang.


4
Resiko injuri sehubungan dengan kerusakan persepsi sensori, gelisah, gangguan fungsi motorik, kejang
a.       Injuri tidak terjadi,
b.      Kejang dapat dikontrol,
c.       Orientasi dan persepsi pasien baik.
1.      Sediakan alat-alat yang untuk penanganan kejang, misalnya obat-obatan, suction.
2.      Jaga kenyamanan lingkungan, tidak berisik.

3.      Tempatkan barabg-barang yang berbahaya tidak dekat dengan pasien seperti kaca, gelas, larutan antiseptic.
4.      Gunakan tempat tidur dengan penghalang dan roda tempat tidur dalam keadaan terkunci.
5.      Jangan tinggalkan pasien sendirian dalam keadaan kejang.
1.      Aktivitas kejang dapat menimbulkan injuri / cidera.

2.      Banyaknya stimulus meningkatkan rasa frustasi psien.
3.      Menghindari trauma akibat benda-benda disekelilingnya.


4.      Mencegah terjadinya trauma.


5.      Penanganan lebih cepat dan mencegah terjadinya trauma.
5
Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan penurunan neuromuskuler, terapi bedrest, immobilisasi.
a.       Mempertahankan pergerakan sendi secara maksimal.
b.      Terbebas dari kontraktur, atropi.
c.       Integritas kulit utuh.
d.      Kekuatan otot maksimal.
1.      Kaji kembali kemampuan dan keadaan secara fungsional pada kerusakan yang terjadi.
2.      Monitor fungsi motorik dan sensorik setiap hari.
3.      Lakukan latihan ROM secara pasif setiap 4 jam.
4.      Ganti posisi tetap setiap 2 jam sekali.


5.      Gunakan bed board, food board.
6.      Koordinasikan aktifitas dengan ahli fisioterapi.
7.      Observasi keadaan kulit seperti adanya kemerahan, lecet pada saat merubah posisi atau memandikan.
8.      Lakukan pemijatan / massage pada bagian tulang yang menonjol seperti pada koksigis, scapula, tumit, siku.
1.      Mengidentifikasi masalah utama terjadinya gangguan mobilitas fisik.
2.      Menentukan kemampuan mobilisasi.

3.      Mencegah terjadninya kontraktur.

4.      Penekanan yang terus menerus menimbulkan iritasi dan dekubitus.
5.      Mencegah kontraktur.
6.      Kolaborasi  penanganan fisioterapi.

7.      Mencegah secara dini terjadinya dekubitus.


8.      Mencegah terjadinya dekubitus.



G.      DAFTAR PUSTAKA
Johnson, M.,Maas,M.,Moorhead,S. 2008. Nursing Outcome Classification 4th edition. USA: Mosby
McCloskey,J.C.,Bulechek,G.M. 2008. Nursing Intervention Classification 5th edition. USA: Mosby
North American Nursing Diagnosis Association. 2001. Nursing Diagnoses : Definition & Classification 2001-2002. Philadelphia.
Turchan, Agus. 2009. Cidera Otak dan Penatalaksanaannya. Surabaya: SMF Bedah Saraf RSU Dr. Soedomo