CIDERA
KEPALA
A.
PENGERTIAN
Cidera kepala adalah
cidera yang disebabkan adanya benturan pada kepala atau akselerasi-deselerasi
yang tiba-tiba dari otak di dalam rongga tengkorak. Adanya gangguan fungsi
saraf yang terjadi segera. Gangguan fungsi saraf ini secara klinis dapat
berwujud berbagi macam bentuk, namun kehilangan kesadaran sering kai merupakan
gambaran utama.
Kasus cidera kepala
adalah:
a.
Adanya riwayat benturan
pada kepala
b.
Laserasi kulit kepala
atau dahi
c.
Penurunan kesadaran
walaupun singkat
B.
MEKANISME
CIDERA KEPALA
Berdasarkan besarnya
gaya dan lamanya gaya yang bekerja pada kepala maka mekanisme terjadinya cidera
kepala tumpul dapat dibagi menjadi 2:
- Static loading
- Dynamic loading
- Lesi impact
- Lesi
akselerasi-deselerasi
Static
loading
Gaya langsung bekerja
pada kepala, lamanya gaya yang bekerja lambat, lebih dari 200 milidetik,
mekanisme static loading ini jarang terjadi, tetapi kerusakan yang dihasilkan
sangat berat mulai dari cidera pada kulit kepala sampai kerusakan tulang
kepala, jaringan otak dan pembuluh darah otak.
Dynamic
loading
Gaya mengenai kepala
terjadi secara cepat (kurang dari 50 milidetik), gaya yang bekerja pada kepala
dapat secara langsung (Impact injury) ataupun gaya tersebut bekerja tidak
langsung (Accelerated-decelerated injury), mekanisme cidera kepala dynamic
loading ini paling sering terjadi.
Impact injury
Gaya langsung bekerja
pada kepala, gaya yang terjadi akan diteruskan kesegala arah, jika mengenai
jaringan lunak akan diserap sebagian dan sebagian yang lain akan diteruskan
sedangkan jika mengenai jaringan yang keras akan dipantulkan kembali. Gaya
impact ini dapat juga menyebabkan lesi akselerasi-deselerasi. Akibat dari
impact injury akan menimbulkan lesi:
Cidera pada kulit
kepala (SCALP):
- Vulnus apertum
- Excoriasi
- Hematom
Cidera pada tulang atap
kepala:
- Fraktur linier
- Fraktur diastase
- Fraktur steallete
- Fraktur depresi
- Fraktur basis kranii.
Hematom intrakranial:
- Hematom epidural
- Hematom subdural
- Hematom intraserebral
- Hematom
intraventrikular
Kontusio serebri:
- Contra coup kontusio
- Coup kontusio
- Laserasi serebri
Lesi diffuse:
- Komosio serebri
- Diffuse axonal injury
(DAI)
Lesi akselerasi -
deselerasi
Gaya tidak langsung
bekerja pada kepala tetapi mengenai bagian tubuh yang lain tetapi kepala tetap
ikut terkena gaya. Oleh karena adanya perbedaan densitas antara tulang kepala
dengan densitas yang tinggi dan jaringan otak dengan densitas yang lebih
rendah, maka jika terjadi gaya tidak langsung maka tulang kepala akan bergerak
lebih dahulu sedangkan jaringan otak dan isinya tetap berhenti, sehingga pada
saat tulang kepala berhenti bergerak maka jaringan otak mulai bergerak dan oleh
karena pada dasar tengkorak terdapat tonjolan-tonjolan maka akan terjadi
gesekan antara jaringan otak dan tonjolan tulang kepala tersebut akibatnya
terjadi lesi intrakranial berupa:
- Hematom subdural
- Hematom intraserebral
- Hematom
intraventrikel
- Contra coup kontusio
selain itu gaya
akselerasi dan deselerasi akan menyebabkan gaya tarikan ataupun robekan yang
menyebabkan lesi diffuse berupa:
- Komosio serebri
- Diffuse axonal injury
C.
CIDERA
OTAK PRIMER
Cidera otak primer
adalah cidera otak yang terjadi segera cidera kepala baik akibat impact injury
maupun akibat gaya akselerasi-deselerasi, cidera otak primer ini dapat
berlanjut menjadi cidera otak sekunder, jika cidera primer tidak mendapat
penanganan yang baik, maka cidera primer dapat menjadi cidera sekunder.
1.
Cidera
pada SCALP
Fungsi
utama dari lapisan kulit kepala dengan rambutnya adalah melindugi jaringan otak
dengan cara menyerap sebagian gaya yang akan diteruskan melewati jaringan otak.
SCALP merupakan singkatan dari Skin, subCutan, Aponeurosis galea, Loose
arerolar, Periosteum. Cidera pada scalp dapat berupa:
-
Eskoriasi.
-
Vulnus apertum.
-
Hematom subcutan
-
Hematom subgaleal
-
Hematom subperiosteal.
Pada
eskoriasi dapat dilakukan wound toilet, yakni mencuci luka serta menghilangkan
jaringan yang sudah tidak berfungsi maupun benda asing, sedangkan pada vulnus
apertum harus dilihat jika vulnus tersebut sampai mengenai galea aponeurotika
maka galea harus dijahit (untuk menghindari dead space antara periosteum dan
subcutis sedangkan didaerah subcutan banyak mengandung pembuluh darah, demikian
juga rambut banyak mengandung kuman sehingga adanya hematom dan kuman
menyebabkan terjadinya infeksi sampai terbentuknya abses).
Penjahitan
pada galea memakai benang yang dapat diabsorbsi dalam jangka waktu lama (tetapi
kalau tidak ada dapat dijahit dengan benang nonabsorbsable tetapi dengan simpul
yang terbalik, untuk menghindari terjadinya "druck necrosis/nekrosis
akibat penekanan , pada kasus terjadinya excoriasi yang luas dan kotor hendaknya
diberikan injeksi anti tetanus.
Pada
kasus dengan hematom subcutan sampai hematom subperiosteum dapat dilakukan
bebat tekan kemudian diberikan analgesia, jika selama 2 minggu hematom tidak
diabsorbsi dapat dilakukan punksi steril, Pada bayi dan anak –anak dimana
hematom yang lebih dari 2minggu tidak dapat diserap, harus dipikirkan
terjadinya fraktur kalvaria. Hati-hati cidera scalp pada anak-anak/bayi karena
perdarahan begitu banyak dapat terjadinya shok hipovolumik.
2.
Fraktur
linier kalvaria
Fraktur
linier pada kalvaria dapat terjadi jika gaya langsung yang bekerja pada tulang
kepala cukup besar tetapi tidak menyebabkan tulang kepala bending dan terjadi
fragmen fraktur yang masuk kedalam rongga intrakranial, tidak ada terapi khusus
pada fraktur linier ini tetapi karena gaya yang menyebabkan terjadinya fraktur
tersebut cukup besar maka kemungkinan terjadinya hematom intrakranial cukup
besar, dari penelitian di RS. Dr. Sotomo Surabaya didapatkan 88% epidural
hematom disertai dengan fraaaktur linier kalvaria.Jika gambaran fraktur
tersebut kesegala arah disebut "Steallete fracture", jika fraktur
mengenai sutura disebut diastase fraktur.
3.
Fraktur
depresi
Secara
definisi yang disebut fraktur depresi apabila fragmen dari fraktur masuk rongga
intrakranial minimal setebal tulang fragmen tersebut, berdasarkan pernah tidaknya
fragmen fraktur berhubungan dengan udara luar maka fraktur depresi dibagi 2
yaitu : fraktur depresi tertutup dan fraktur depresi terbuka.
3.a.
Fraktur depresi tertutup
Pada
fraktur depresi tertutup biasanya tidak dilakukan tindakan operatip kecuali
bila fraktur tersebut menyebabkan:
1.
Gangguan neurologis, misal kejang-kejang, hemiparese/plegi, penurunan kesadaran
2.
Secara kosmetik jelek misal : fraktur depresi didaerah frontal yang berhubungan
dengan pekerjaannya.
Tindakan
yang dilakukan adalah mengangkat fragmen tulang yang menyebabkan penekanan pada
jaringan otak.setelahnya mengembalikan dengan fiksasi pada tulang disebelahnya,
sedangkan fraktur depresi didaerah temporal tanpa disertai adanya gangguan
neurologis tidak perlu dilakukan operasi.
3.b.
Fraktur depresi terbuka
Semua
fraktur epresi terbuka harus dilakukan tindakan operatif debridemant untuk
mencegah terjadinya proses infeksi (meningoencephalitis) Yaitu mengangkat
fragmen yang masuk, membuang jaringan yang devitalized seperti jaringan
nekrosis benda-benda asing, evakuasi hematom, kemudian menjahit duramater
secara "water tight"/kedap air kemudian fragmen tulang dapat
dikembalikan atau pun dibuang, fragmen tulang dikembalikan jika :
-
Tidak melebihi golden periode (24 jam)
-
Duramater tidak tegang.
Jika
fragmen tulang berupa potongan-potongan kecil maka pengembalian tulang dapat
secara mozaik.
4.
Fraktur
Basis kranii
Secara
anatomis ada perbedaan struktur didaerah basis kranii dan kalvaria yaitu:
-
Pada basis kranii tulangnya lebih tipis dibandingkan tulang daerah kalvaria.
-
Duramater daerah basis kranii lebih tipis dibandingkan daerah kalvaria
-
Duramater daerah basis lebih melekat erat pada tulang dibandingkan daerah
kalvaria
Sehingga
bila terjadi fraktur daerah basis mengakibatkan robekan duramater
Klinis
ditandai dengan:
-
Bloody otorrhea.
-
Bloody rhinorrhea
-
Liquorrhea
-
Brill Hematom
-
Batle's sign
-
Lesi nervus cranialis yang paling sering N I, NVII, dan N VIII
Diagnose
fraktur basis kranii secara klinis lebih bermakna dibandingkan dengan diagnose
secara radiologis oleh karena:
-
Foto basis cranii posisinya hanging Foto , dimana posisi ini sangat berbahaya
tertutama pada cidera kepala disertai dengan cidera vertebra cervikal ataupun
pada cidera kepala dengan gangguan kesadaran yang dapat menyebabkan gangguan
pernafasan
-
Adanya gambaran fraktur pada foto basis kranii tidak akan merubah
penatalaksanaan dari fraktur basis kranii.
-
Pemborosan biaya perawatan karena penambahan biaya foto basis kranii.
Penanganan dari fraktur
basis kranii meliputi:
- Cegah peningkatan
tekanan intrakranial yang mendadak, misal cegah batuk, mengejan, makanan yang
tidak menyebabkan sembelit.
- Jaga kebersihan
sekitar lubang hidung dan lubang telinga, jika perlu dilakukan tampon steril
(Consul ahli THT) pada tanda bloody otorrhea/ otoliquorrhea,
- Pada penderita dengan
tanda-tanda bloody otorrhea /otoliquorrhea penderita tidur dengan posisi
terlentang dan kepala miring keposisi yang sehat.
- Pemberian antibiotika
profilaksis untuk mencegah terjadinya meningoensefalitis masih kontroversial,
di SMF Bedah Saraf RSU Dr. Soetomo kami tetap memberikan antibiotika
profilaksis dengan alasan penderita fraktur basis kranii dirawat bukan
diruangan steril / ICU tetapi di ruang bangsal perawatan biasa dengan catatan
pemberian kami batasi sampai bloody rhinorrhea/otorrhea berhenti.
Komplikasi yang paling
sering terjadi dari fraktur basis kranii meliputi: - mengingoensefalitis
- abses serebri.
- Lesi nervii cranialis
permanen
- Liquorrhea.
- CCF (Carotis
cavernous fistula).
5.
Komosio
serebri
Secara
definisi komosio serebri adalah gangguan fungsi otak tanpa adanya kerusakan
anatomi jaringan otak akibat adanya cidera kepala. Sedangkan secara klinis
didapatkan penderita pernah atau sedang tidak sadar selama kurang dari 15
menit, disertai sakit kepala, pusing, mual-muntah adanya amnesi retrogrde
ataupun antegrade. Pada pemeriksaan radiologis CT Scan : tidak didapatkan
adanya kelainan.
6.
Kontusio
serebri
Secara
definisi kontusio serebri didefinisikan sebagai gangguan fungsi otak akibat
adanya kerusakan jaringan otak, secara klinis didapatkan penderita pernah atau
sedang tidak sadar selama lebih dari 15 menit atau didapatkan adanya kelaianan
neurologis akibat kerusakan jaringan otak seperti hemiparese/plegi, aphasia
disertai gejala mual-muntah, pusing sakit kepala, amnesia retrograde/antegrade,
pada pemeriksaan CT Scan didapatkan daerah hiperdens di jaringan otak,
sedangkan istilah laserasi serebri menunjukkan bahwa terjadi robekan membran
pia-arachnoid pada daerah yang mengalami contusio serebri.yang gambaran pada CT
Scan disebut "Pulp brain "
7.
Epidural
hematom (EDH = Epidural hematom)
Epidural
hematom adalah hematom yang terletak antara duramater dan tulang, biasanya
sumber perdarahannya adalah robeknya :
- Arteri meningica media
(paling sering)
- Vena diploica (oleh
karena adanya fraktur kalvaria)
- Vena emmisaria.
- Sinus venosus duralis
Secara
klinis ditandai dengan adanya penurunan kesadaran yang disertai lateralisasi
(ada ketidaksamaan antara tanda-tanda neurologis sisi kiri dan kanan tubuh)
yang dapat berupa :
- hemiparese/plegi
- pupil anisokor
- reflek patologis satu
sisi
Adanya lateralisasi dan
jejas pada kepala menunjukkan lokasi dari EDH. Pupil anisokor /dilatasi dan
jejas pada kepala letaknya satu sisi/ipsilateral dengan lokasi EDH sedangkan
Hemiparese/plegi letaknya kontralateral dengan lokasi EDH, sedangkan gejala
adanya lucid interval bukan merupakan tanda pasti adanya EDH karena dapat
terjadi pada perdarahan intrakranial yang lain, tetapi lucid interval dapat dipakai
sebagai patokan dari prognosenya makin panjang lucid interval makin baik
prognose penderita EDH (karena otak mempunyai kesempatan untuk melakukan
kompensasi)
Pada pemeriksaan
radiologis CT Scan didapatkan gambaran area hiperdens dengan bentuk bikonvek diantara
2 sutura,
Sedangkan indikasi
operasi jika:
- Terjadinya penurunan
kesadaran
- Adanya lateralisasi
- Nyeri kepala yang
hebat dan menetap yang tidak hilang dengan pemberian anlgesia.
- Pada CT Scan jika
perdarahan volumenya lebih dari 20 CC atau tebal lebih dari 1 CM atau dengan
pergeseran garis tengah (midline shift) lebih dari 5 mm. Operasi yang dilakukan
adalah evakuasi hematom, menghentikan sumberperdarahan sedangkan tulang kepala
dapat dikembalikan jika saat operasi tidak didapatkan adanya edema serebri
sebaliknya tulang tidak dikembalikan jika saat operasi didapatkan duramater
yang tegang dan dapat disimpan subgalea.
Pada penderita yang
dicurigai adanya EDH yang tidak memungkinkan dilakukan diagnose radiologis CT
Scan maka dapat dilakukan diagnostik eksplorasi yaitu " Burr hole
explorations " yaitu membuat lubang burr untuk mencari EDH biasanya
dilakukan pada titik-titik tertentu yaitu (berurutan)
- pada tempat
jejas/hematom
- pada garis fratur
- pada daerah temporal
- pada daerah frontal
(2 CM didepan sutura coronaria)
- pada daerah parietal
- pada daerah
occipital.
Prognose dari EDH
biasanya baik, kecuali dengan GCS datang kurang dari 8, datang lebih dari 6 jam
umur lebih dari 60 tahun
8.
Subdural
hematom (SDH)
Secara
definisi hematom subdural adalah hematom yang terletak dibawah lapisan
duramater dengan sumber perdarahan dapat berasal dari :
- Bridging vein (paling
sering)
- A/V cortical
- Sinus venosus duralis
Berdasarkan
waktu terjadinya perdarahan maka subdural hematom dibagi 3 :
- Subdural hematom akut
: terjadi kurang dari 3 hari dari kejadian
- Subdural hematom
subakut: terjadi antara 3 hari – 3 minggu
- Subdural hematom
kronis jika perdarahan terjadi lebih dari 3 minggu.
Secara klinis subdural
hematom akut ditandai dengan penurunan kesadaran, disertai adanya lateralisasi
yang paling sering berupa hemiparese/plegi.
Sedangkan pada
pemeriksaan radiologis (CT Scan) didapatkan gambaran hiperdens yang berupa
bulan sabit (cresent).
Indikasi
operasi menurut EBIC (Europe brain injury commition) pada perdarahan subdural
adalah :
- jika perdarahan
tebalnya lebih dari 1 CM.
- Jika terdapat
pergeseran garis tengah lebih dari 5mm.
Operasi
yang dilakukan adalah evakuasi hematom, menghentikan sumer perdarahan oleh
karena biasanya disertai dengan edema serebri biasanya tulang tidak
dikembalikan (dekompresi) dan disimpan subgalea.
Prognose
dari penderita SDH ditentukan dari GCS awal saat operasi, lamanya penderita
datang sampai dilakukan operasi, lesi penyerta dijaringan otak serta usia
penderita, pada penderita dengan GCS kurang dari 8 prognosenya 50 %, makin
rendah GCS, makin jelek prognosenya makin tua penderita makin jelek prognosenya
adanya lesi lain akan memperjelek prognosenya.
9.
Intracerebral
hematom (ICH)
Perdarahan
intracerebral adalah perdarahan yang terjadi pada jaringan otak biasanya akibat
robekan pembuluh darah yang ada dalam jaringan otak. Secara klinis ditandai
dengan adanya penurunan kesadaran yang kadang-kadang disertai lateralisasi,
pada pemeriksaan CT scan didapatkan adanya daerah hiperdens yng disertai dengan
edema disekitarnya (perifokal edema)
Indikasi dilakukan
operasi jika:
- Single
- Diameter lebih dari 3
CM
- Perifer.
- Adanya pergeseran
garis tengah
- Secara klinis hematom
tersebut dapat menyebabkan gangguan neurologis /lateralisasi
Operasi
yang dilakukan biasanya adalah evakuasi hematom disertai dekompresi dari tulang
kepala. Faktor-faktor yang menentukan prognosenya hampir sama dengan
faktor-faktor yang menentukan prognose perdarahan subdural.
10. Diffuse axonal injury
(DAI)
Secara
definisi yang disebut diffuse axonal injury adalah koma lebih dari 6 jam yang
pada pemeriksaan CT Scan tidak didapatkan kelainan (gambaran hiperdens), jadi
yang dipakai sebagai golden standart diagnostic adalah CT Scan. Secara klinis
DAI dibagi menjadi 3 gradasi:
DAI ringan : jika koma
terjadi antara 6 – 24 jam.
DAI sedang: jika koma
lebih dari 24 jam tanpa disertai tanda-tanda deserebrated decorticated.
DAI. Berat: Jika koma
lebih dari 24 jam yang disertai tanda-tanda deserebrated / decorticated.
Sedangkan menurut WHO
yang disebut koma jika GCS kurang dari 8.(Unopen eyes, unuterred words and
unobey commands)
Pada kasus dengan DAI
berat, biasanya prognosenya jelek.
D.
CIDERA
OTAK SEKUNDER
Cidera otak yang
terjadi akibat dari cidera otak primer yang tidak mendapat penanganan yang baik
(sehingga terjadi hipoksia) serta adanya proses metabolisme dan neurotransmiter
serta respon inflamasi pada jaringan otak maka cidera otak primer berubah menjadi
cidera otak sekunder yang meliputi :
- Edema serebri
- Infark serebri
- Peningkatan tekanan
intra kranial
Edema
serebri
Adalah penambhan air
pada jaringan otak/ sel-sel otak, pada kasus cidera kepala terdapat 2 macam
edema serebri :
- Edema serebri vasogenik
- Edema serebri
sitostatik
Edema serebri vasogenik
Edema serebri vasogenik
terjadi jika terdapat robekan dari "blood brain barrier" (sawar darah
otak) sehingga solut intravaskuler (plasma darah) ikut masuk dalam jaringan
otak (ekstraseluler) dimana tekanan osmotik dari plasma darah ini lebih besar
dari pada tekanan osmotik cairan intra selluler akibatnya terjadi reaksi
osmotik dimana cairan intraselluler yang tekanan osmotiknya lebih rendah akan
ditarik oleh cairan ekstra seluler keluar dari sel melewati membran sel
sehingga terjadi edema ekstra seluler sedangkan sel-sel otak mengalami
pengkosongan ("shringkage")
Edema
serebri Sitostatik
Edema serebri
sitostatik terjadi jika suplai oksigen kedalam jaringan otak berkurang
(hipoksia) akibatnya terjadi reaksi anaerob dari jaringan otak (pada keadaan
aerob maka metabolisme 1 mol glukose akan di ubah menjadi 38 ATP dan H2O)
sedangkan dalam keadaan anaerob maka 1 molekul glukose akan diubah menjadi 2
ATP dan H2O karean kekurangan ATP maka tidak ada tenaga yang dapat digunakan
untuk menjalankan proses pumpa Natrium Kalium untuk pertukaran kation dan anion
antara intra selluler dan ekstraseluler dimana pada proses tersebut memerlukan
ATP akibatnya Natrium (Na) yang seharusnya dipumpa keluar dari sel menjadi masuk
kedalam sel bersamaan masuknya natrium, maka air (H2O) ikut masuk kedalam sel
sehingga terjadi edema intra seluler
Gambaran CT Scan dari
edema serebri :
- Ventrikel menyempit
- Cysterna basalis
menghilang
- Sulcus menyempit
sedangkan girus melebar
Terapi dari edema
serebri
Secara prinsip terapi
dari edema serebri adalah menghilangkan air yang ada dalam sel (intraseluler)
ataupun air diluar sel (ekstraseluler) dengan cara:
- cairan hiperosmotik
(manitol) dengan dosis 0,5 g – 1 g/Kg BB/kali diberikan secara bolus dalam
waktu 15 – 20 menit., disamping sebagai cairan hiperosmolar maka manitol dengan
dosis rendah berfungsi sebagai penangkap bahan radikal bebas dan dapat
meningkatkan mikrosirkulasi dari sel-sel darah merah (rheologi), pemberian
manitol selama 4 hari kemudian dilakukan tapering agar tidak terjadi
"rebound phenomena".
- Kortikosteroid, obat
ini dapat memperbaiki sawar darah otak sehingga secara tidak langsung
memperbaiki edema serebri, tetapi obat ini tidak digunakan
pada kasus cidera
kepala karena manfaatnya lebih sedikit dibandingkan dengan
kerugiannya.Kortikiosteroid sangat bermanfaat untuk edema serebri yang
disebabkan oleh tumor otak baik primer maupun metastase.
- Deuritika., biasanya
yang digunakan furosemide
Tekanan
intra kranial
Compartment rongga
kepala orang dewasa rigid tidak dapat berkembang yang terisi 3 komponen yaitu :
- jaringan otak seberat
1200 gram
- cairan liquor
serebrospinalis seberat 150 gram
- darah dan pembuluh
darah seberat 150 gram
Menurut doktrin
Monroe-Kellie, jumlah massa yang ada dalam rongga kepala adalah konstan jika
terdapat penambahan massa (misal hematom, edema, tumor, abses) maka sebagian
dari komponen tersebut mengalami kompensasi/bergeser, yang mula-mula mengalami
kompensasi adalah cairan serebrospinalis yaitu pindah kedalam sisterna ataupun
canalis centralis yang ada di medullaspinalis yang tampak pada klinis penderita
mengalami kaku kuduk serta pinggang terasa sakit dan berat, jika kompensasi
dari cairan serebrospinalis sudah terlampaui sedangkan penambahan massa masih
terus berlangsung maka terkjadi kompensasi kedua yaitu kompensasi dari pembuluh
darah dan isinya yang bertujuan untuk mengurangi isi rongga intrakranial dengan
cara :
- Vaso konstriksi yang
berakibat tekanan darah meningkat
- Denyut nadi menurun
(bradikardia), yang merupakan tanda awal dari peningkatan tekanan intrakranial,
kedua tanda ini jika disertai dengan gangguan pola nafas disebut "trias
Cushing"
Jika kompensasi kedua
komponen isi rongga intrakranial sudah terlampaui sedangkan penambahan massa
masih terus berlangsung maka jaringan otak akan melakukan komponsasi yaitu
berpindah ketempat yang kosong ("locus minoris") perpindahan jaringan
otak tersebut disebut herniasi cerebri, ada beberapa macam:
- herniasi serebri
subfalxine
- herniasi serebri
"upward"
- herniasi serebri
tentorial (lateral/uncus)
- herniasi serebri
tentorial (central)
- herniasi tonsilar
Tanda-tanda klinis
herniasi cerebri tergantung dari macamnya,. Pada umumya klinis dari peningkatan
tekanan intrakranial adalah :
- Nyeri kepala.
- Mual, muntah
- Pupil bendung
"Sekunder
insult"
Adalah kondisi
penderita yang bertambah buruk akibat terjadinya cidera otak sekunder karena
terjadinya kesalahan penanganan oleh tenaga medis/paramedis misal : - Saat
transportasi tidak dipasang infus sehingga terjadi shock, ataupun tidak
dilakukan penanganan airway sehingga terjadi hipoksia, sekunder insult dapat
terjadi di dalam rumah sakit (paling sering) maupun saat diluar rumah sakit
E.
PENATALAKSANAAN
Penanganan
pertama kasus cidera kepala di UGD
Pertolongan pertama
dari penderita dengan cidera kepala mengikuti standart yang telah ditetapkan
dalam ATLS (Advanced trauma life support) yang meliputi, anamnesa sampai
pemeriksaan fisik secara seksama dan stimultan pemeriksaan fisik meliputi: -
Airway
- Breathing
- Circulasi
- Disability
Pada pemeriksaan airway
usahakan jalan nafas stabil, dengan cara :
- Kepla miring, buka
mulut, bersihkan muntahan darah, adanya benda asing
- Perhatikan tulang
leher, immobilisasi, cegah gerakan hiperekstensi, hiperfleksi atauipun rotasi.
- Semua penderita
cidera kepala yang tidak sadar harus dianggap disertai cidera vertebrae
cervikal sampai terbukti sebaliknya, maka perlu dipasang collar brace.
jika sudah stabil
tentukan saturasi oksigen minimal saturasinya diatas 90 %, jika tidak usahakan
untuk dilakukan intubasi dan suport pernafasan.
Setelah jalan nafas
bebas sedapat mungkin pernafasannya diperhatikan frekwensinya normal antara 16
– 18 X/menit, dengarkan suara nafas bersih, jika tidak ada nafas lakukan nafas
buatan, kalau bisa dilakukan monitor terhadap gas darah dan pertahankan PCO 2
antara 28 – 35 mmHg karena jika lebih dari 35 mm Hg akan terjadi vasodilatasi
yang berakibat terjadinya edema serebri sedangkan jika kurang dari 20 mm Hg
akan menyebabkan vaso konstriksi yang berakibat terjadinya iskemia., periksa
tekanan oksigen (PO2) 100 mmHg jika kurang beri Oksigen masker 8 liter/ menit.
Pada pemeriksaan sistem
sirkulasi :
- Periksa denyut
nadi/jantung, jika (-) lakukan resusitasi jantung.
- Bila shock (tensi
< 90 dan nadi > 100 atasi dengan infus cairan RL, cari sumber perdarahan
ditempat lain, karena cidera kepala single pada orang dewasa hampir tidak
pernah menimbulkan shock. Terjadinya shock pada cidera kepala meningkatkan
angka kematian 2 X
- Hentikan perdarahan
dari luka terbuka
Pada pemeriksaan
disability / kelainan kesadaran:
- Periksa kesadaran :
memakai Glasgow Coma Scale
- Periksa kedua pupil
bentuk dan besarnya serta catat reaksi terhadap cahaya langsung maupun konsensual./tidak
langsung
- Periksa adanya
hemiparese/plegi
- Periksa adanya reflek
patologis kanan kiri
- Jika penderita sadar
baik tentukan adanya gangguan sensoris maupun fungsi luhur misal adanya aphasia
Setelah fungsi vital
stabil (ABC stabil baru dilakukan survey yang lain dengan cara melakukan
sekunder survey/ pemeriksaan tambahan seperti Skull foto, foto thorax, foto
pelvis, CT Scan dan pemeriksaan tambahan yang lain seperti pemeriksaan darah
(pemeriksaan ini sebenarnya dikerjakan secara stimultan dan seksama).
Glasgow Coma Scale
(GCS)
Untuk mendapatkan
keseragaman dari penilaian tingkat kesadaran secara kwantitatif (yang
sebelumnya tingkat kesadaran diukur secara kwalitas seperti apatis, somnolen
dimana pengukuran seperti ini didapatkan hasil yang tidak seragam antara satu
pemeriksaan dengan pemeriksa yang lain) maka dilakukan pemeriksaan dengan skala
kesadaran secara Glasgow, ada 3 macam indikator yang diperiksa yaitu:
1. Reaksi membuka mata
2. Reaksi verbal
3. Reaksi motorik
Berdasarkan GCS maka
cidera kepala dapat dibagi menjadi 3 gradasi yaitu :
- Cidera kepala derajad
ringan, bila GCS : 13 – 15.
- Cidera kepal derajad
sedang, bila GCS: 9 – 12.
- Cidera kepala derajad
berat, bila GCS kurang atau sama dengan 8
Pada penderita yang
tidak dapat dilakukan pemeriksaan misal oleh karena aphasia, maka reaksi verbal
diberi tanda "X", atau oleh karena kedua mata edema berat sehingga
tidak dapat di nilai reaksi membuka matanya maka reaksi membuka mata diberi
nilai "X", sedangkan jika penderita dilakukan tracheostomy ataupun
dilakukan intubasi maka reaksi verbal diberi nilai " T "
Indikasi
foto polos kepala
Tidak semua penderita
dengan cidera kepala diindikasikan untuk pemeriksaan kepala karena masalah
biaya dan kegunaannya yang sekarang makin ditinggalkan. Jadi indikasinya
meliputi :
- Jejas lebih dari 5
Cm.
- Luka tembus (tembak/
tajam)
- Adanya corpus alineum
- Deformitas kepala
(dari inspeksi dan palpasi)
- Nyeri kepala yang
menetap
- Gejala fokal
neurologis
- Gangguan kesadaran
(GCS < 15)
Perawatan
di rumah sakit
1.
GCS 13 – 15
- Infus dengan cairan
normoosmotik (kecuali Dextrose oleh karena dextrose cepat dimetabolisme menjadi
H2O + CO2 sehingga dapat menimbulkan edema serebri) Di RS Dr Soetomo Surabaya
digunakan D5% 1/2 salin kira-kira 1500 – 2000 cc/24 jam untuk orang dewasa
- Diberikan
analgesia/antimuntah secara intravena, jika penderita tetap muntah harus
dipuasakan selama 6 jam, jika tidak muntah dicoba minum sedikit-sedikit (Pada
penderita yang tetap sadar)
- Mobilisasi dilakukan
sedini mungkin, dimulai dengan memberikan bantal selama 6 jam kemudian setengah
duduk pada 12 jam kemudian kemudian duduk penuh dan dilatih berdiri (dapat
dilakukan pada penderita dengan GCS 15)
- Jika memungkinkan
dapat diberikan obat neurotropik,seperti : Citicholine, dengan dosis 3 X 250
mg/hari sampai minimal 5 hari
- Minimal penderita MRS
selam 2 X 24 jam karena komplikasi dini dari cidera kepala paling sering
terjadi 6 jam setelah cidera dan berangsur-angsur berkurang sampai 48 jam
pertama
2.
GCS < 13
- Posisi terlentang
kepala miring kekiri dengan diberi bantal tipis (head up 15 – 300) hal ini
untuk memperbaiki venous return sehingga tekanan intra kranial turun.
- Beri masker Oksigen 6
– 8 liter/menit
- Atasi hipotensi,
usahakan tekanan sistolok diatas 100mmHg, jika tidak ada perbaikan dapat
diberikan vasopressor.
- Pasang infus D5% 1/2
saline 1500 – 2000 cc/24 jam atau 25 – 30 CC/KgBB /24 jam
- Pada penderita dengan
GCS < 9 atau diperkirakan akan memerlukan perawatan yang lebih lama maka hendaknya
dipasang maagslang ukuran kecil (12 Fr) untuk memberikan makanan, yang dimulai
pada hari I dihubungkan dengan 500 CC Dextrose 5% gunanya pemberian sedini
mungkin adalah untuk menghindari atrophi villi usus, menetralisasikan asam
lambung yang biasanya sangat tinggi pH nya (stress ulcer), menambah energi yang
tetap dibutuhkan sehingga tidak terjadi metabolisme yang negatip, pemberian
makanan melalui pipa lambung ini akan ditingkatkan secara perlahan-lahan samai
didapatkan volume 2000 CC/ 24 jam dengan kalori 2000 Kkal., keuntungan lain
dari pemberian makanan peroral lebih cepat pada penderita tidak sadar antara
laian :
- Mengurangi
translokasi kuman di dinding usus halus dan usus besar
- Mencegah normal flora
usus masuk kedalam system portal
- Sedini mungkin
penderita dilakukan mobilisasi untuk menghindari terjadinya statik pneumonia
atau dekubitus dengan cara melakukan miring kekiri kan kanan setiap 2 jam
- Pada penderita yang
gelisah harus dicari dulu penyebabnya tidak boleh langsung diberikan obat penenang
seperti diazepam karena dapat menyebabkan masking efek terhadap kesadarannya
dan terjadinya depresi pernafasan. Pada penderita gelisah dapat terjadi karena:
- Nyeri OK :- fraktur
- kandung seni yang
penuh
- tempat tidur yang
kotor
F.
DIAGNOSA
KEPPERAWATAN YANG MUNGKIN MUNCUL
1.
Gangguan perfusi
jaringan serebral berhubungan dengan kerusakan aliran darah otak sekunder
edema, serebri.
2.
Tidak efektifnya pola
napas berhubungan dengan kerusakan neuromuskular, kontrol mekanisme ventilasi,
komplikasi pada paru-paru
3.
Resiko deficit volume
cairan berhubungan dengan terapi diuretic, pembatasan cairan.
4.
Resiko injuri
sehubungan dengan kerusakan persepsi sensori, gelisah, gangguan fungsi motorik,
kejang
5.
Gangguan mobilitas
fisik berhubungan dengan penurunan neuromuskuler, terapi bedrest, immobilisasi.
No
|
Diagnosa
|
Tujuan
|
Intervensi
|
Rasional
|
1
|
Gangguan perfusi jaringan
serebral berhubungan dengan kerusakan aliran darah otak sekunder edema,
serebri.
|
a. Tingkat kesadaran kompos
mentis : orientasi orang, tempat dan memori baik.
b. Tekanan perfusi serebral
>60 mmHg, tekanan intrakranial < 15 mmHg.
c. Fungsi senssori utuh / normal.
|
1. Kaji tingkat kesadaran dengan
GCS
2. Kaji pupil, ukuran, respon
terhadap cahaya, gerakan mata
3. Kaji refleks kornea dan
refleks
4. Evaluasi keadaan motorik dan
sensori pasien
5. Monitor tanda vital setiap 1
jam
6.Observasi adanya edema
periorbita ekimosis diatas osmatoid,rhinorrhea, otorrhea.
7. Pertahan kan kepala tempat tidur 30-45
derajat dengan posisi leher menekuk
8. Anjurkan pasien untuk tidak menekuk
lututnya / fleksi, batuk, bersin, feses yang keras
9.Pertahankaan suhu normal
10. Monitor kejang dan berikan obat antikejang
11. Lakukan aktivitas keperawatan dan
aktivitas pasien seminimal
mungkin.
12.Pertahankan kepatenan jalan
napas, suction jika perlu, berikan oksigen 100 % sebelum suction dan suction
tidak lebih dari 15 detik.
13. Monitor AGD, PaCO2 antara35-45 mmHg dan
PaCO2 >80 mmHg
14. Berikan obat sesuai program dan monitor
efek samping.
|
1. Tingkat kesadaran merupakan
indikator terbaik adanya perubahan neurologi
2. Mengetahui fungsi N I,II dan
III
3. Menurunnya refleks kornea dan
refleks indikasi kerusakan pada batang otak
4.Gangguan motorik dan sensori
dapat terjadi akibat edema otak.
5.Adanya perubahan tanda vital
seperi respirasi menunjukkan kerusakan pada batang otak
6. Indikasi adanya fraktur
basilar
7. Memfasilitasi drainasi vena
dari otak\
8.Dapat meningkatkan tekanan
intrakranial
9.Suhu tubuh yang meningkatkan
akan meningkatkan aliran darah ke otak sehingga meningkatkan TIK
10. Kejang dapat terjadi akibat iritasi
serebral dan keadaan kejang memerlukan banyak oksigen
11.Meminimalkan stimulus sehingga
menurunkan TIK
12.Mempertahankan adekuatnya
oksigen, suction dapat meningkatkan TIK
13.Karbondioksida menimbulkan
vasodilatasim adekuatnya oksigen sangat penting dalam mempertahankan
metabolisme otak.
14. Mencegah komplikasi lebih dini
|
2
|
Tidak efektifnya pola napas
berhubungan dengan kerusakan neuromuskular, kontrol mekanisme ventilasi,
komplikasi pada paru-paru.
|
1) Pasien dapat menunjukkan pola napas yang efektif:
frekwensi < 20/ menit, irama dan keadaan normal.
2) Fungsi paru-paru normal: tidak volume
> 7-10 ml/kg, vital capacity > 12-15 ml/kg.
|
1.Kaji frekwensi napas, kedalaman,
irama setiap 1-2 jam.
2. Auskultasi bunyi napas setiap 1-2 jam
3. Pertahankan kebersihan jalan napas,
suction jika perlu, berikan oksigen
sebelum suction.
4.Berikan posisi semifowler.
5. Monitor AGD
6. Berikan oksigen sesuai program
|
1. Pernapasan yang tidak teratur, seperti
apnea,pernapasan cepat atau lambat kemungkinan adanya gangguan pada pusat
pernapasan pada otak.
2. Salah satu komplikasi cidera kepala adalah
adanya gangguan pada paru-paru
3. Mempertahankan adekuatnya suplai
oksigen ke otak
4. Memaksimalkan ekspansi paru
5. Mempertahankan kadar PaO2 dan PaCO2 dalam
batas normal.
6. Meningkatkan suplay oksigen ke otak.
|
3
|
Resiko deficit volume cairan
berhubungan dengan terapi diuretic, pembatasan cairan.
|
a. Pasien dapat mempertahankan fungsi
hemodinamik : tekanan darah systole dalam batas normal, denyut jantung
teratur.
b. Terjadi keseimabangan cairan dan
elektrolit : berat badan stabil, intake dan output cairan seimbang, tidak
terdapat tanda-tanda dehidrasi.
|
1. Monitor intake dan output cairan.
2. Monitor hasil laboratorium, elektrolit, hemotokrit.
3. Monitor tanda-tanda dehidrasi : banyak
minum, kulit kering, turgor kulit kurang, kelemahan, berat badan yang
menurun.
4. Berikan cairan pengganti melalui oral
atau parenteral.
|
1. Mengetahui keseimbangan cairan,
penanganan lebih dini. Jika output urine <30ml/jam, BJ urine > 1.025
indikasi kekurangan cairan.
2. Hemotokrit yang meningkat berarti
cairan lebih pekat.
3. Indicator kekurangan cairan.
4. Mengganti cairan yang hilang.
|
4
|
Resiko injuri sehubungan dengan
kerusakan persepsi sensori, gelisah, gangguan fungsi motorik, kejang
|
a. Injuri tidak terjadi,
b. Kejang dapat dikontrol,
c. Orientasi dan persepsi pasien baik.
|
1. Sediakan alat-alat yang untuk
penanganan kejang, misalnya obat-obatan, suction.
2. Jaga kenyamanan lingkungan, tidak
berisik.
3. Tempatkan barabg-barang yang berbahaya
tidak dekat dengan pasien seperti kaca, gelas, larutan antiseptic.
4. Gunakan tempat tidur dengan penghalang
dan roda tempat tidur dalam keadaan terkunci.
5. Jangan tinggalkan pasien sendirian
dalam keadaan kejang.
|
1. Aktivitas kejang dapat menimbulkan
injuri / cidera.
2. Banyaknya stimulus meningkatkan rasa
frustasi psien.
3. Menghindari trauma akibat benda-benda
disekelilingnya.
4. Mencegah terjadinya trauma.
5. Penanganan lebih cepat dan mencegah
terjadinya trauma.
|
5
|
Gangguan mobilitas fisik
berhubungan dengan penurunan neuromuskuler, terapi bedrest, immobilisasi.
|
a. Mempertahankan pergerakan sendi secara
maksimal.
b. Terbebas dari kontraktur, atropi.
c. Integritas kulit utuh.
d. Kekuatan otot maksimal.
|
1. Kaji kembali kemampuan dan keadaan
secara fungsional pada kerusakan yang terjadi.
2. Monitor fungsi motorik dan sensorik
setiap hari.
3. Lakukan latihan ROM secara pasif setiap
4 jam.
4. Ganti posisi tetap setiap 2 jam sekali.
5. Gunakan bed board, food board.
6. Koordinasikan aktifitas dengan ahli
fisioterapi.
7. Observasi keadaan kulit seperti adanya
kemerahan, lecet pada saat merubah posisi atau memandikan.
8. Lakukan pemijatan / massage pada bagian
tulang yang menonjol seperti pada koksigis, scapula, tumit, siku.
|
1. Mengidentifikasi masalah utama
terjadinya gangguan mobilitas fisik.
2. Menentukan kemampuan mobilisasi.
3. Mencegah terjadninya kontraktur.
4. Penekanan yang terus menerus
menimbulkan iritasi dan dekubitus.
5. Mencegah kontraktur.
6. Kolaborasi penanganan fisioterapi.
7. Mencegah secara dini terjadinya
dekubitus.
8. Mencegah terjadinya dekubitus.
|
G.
DAFTAR
PUSTAKA
Johnson,
M.,Maas,M.,Moorhead,S. 2008. Nursing Outcome Classification 4th edition. USA:
Mosby
McCloskey,J.C.,Bulechek,G.M.
2008. Nursing Intervention Classification 5th edition. USA: Mosby
North
American Nursing Diagnosis Association. 2001. Nursing Diagnoses : Definition
& Classification 2001-2002. Philadelphia.
Turchan,
Agus. 2009. Cidera Otak dan Penatalaksanaannya. Surabaya: SMF Bedah Saraf RSU
Dr. Soedomo